arahbatin | Saat memasuki sebuah masjid, Rasulullah Saw. sempat menemukan tali yang tergantung di antara kedua tiang. Lalu Rasul bertanya kepada semua orang yang ada di masjid tersebut, “ini tali apa?” Lalu salah satu di antara mereka ada yang menjawabnya, “ini tali milik Zainab. Jika dia sedang merasa lelah, dia bergantung pada tali tersebut.” Melihat hal tersebut, rasa tak senang tampak dari raut wajah Rasul Saw. Kemudian Rasul pun berkata kepada mereka, “tidak, lepaskanlah tali itu. Hendaklah salah seorang di antara kalian shalat dalam keadaan bugar. Jika lemas, maka hendaklah ia duduk.” (HR. Bukhari)
Di lain waktu ada kisah populer yang menyebutkan tiga orang sahabat yang hendak beribadah dengan penuh semangat. Satu sahabat bertekad untuk tak tidur di atas kasur, dan menghabiskan waktu dengan shalat malam. Sahabat kedua bertekad untuk tak makan daging, juga menghabiskan waktu siang dengan puasa. Lalu sahabat terakhir bertekad untuk tak menikahi perempuan. Juga hanya menghabiskan waktu dengan Tuhannya saja. Jelas saja, ini semua mereka lakukan sebagai bentuk kesungguhan cinta mereka kepada Tuhannya.
Tiga orang sahabat tersebut merasa kurang dalam beribadah. Oleh karena itu, dengan ketulusan niatnya, mereka ingin menambal kekurangan tersebut, dengan tambahan ibadah lainnya. Apa yang Rasul katakan?Rasul menolak model ibadah semacam itu, sambil berkata kepada mereka, “tetapi aku shalat, dan aku tidur. Aku puasa, dan aku berbuka. Dan aku juga menikahi perempuan-perempuan. Siapa yang tak senang dengan sunnahku maka dia bukan bagian dariku.” (HR. Muslim).
Dua respon Rasul tersebut kiranya dapat memberi contoh kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allah Swt. Bisa jadi kita mengira bahwa amalan yang dicintai oleh Tuhan itu ialah amalan yang banyak, sampai benar-benar menguras tenaga dan pikiran kita. Kita mengira bahwa dengan melakukan hal tersebut kita telah “berkorban” untuk Tuhan kita. Dan beribadah dengan sebaik-baiknya.
Terlebih tak jarang orang-orang beribadah dengan intensitas yang tinggi itu merasa lebih baik dari yang lain. Di saat melihat yang lain bergelimang maksiat, dia memandang pribadinya sebagai orang yang sangat taat. Akhirnya dia merasa lebih baik dari orang lain. Bukan ini yang diajarkan oleh Islam. Nabi Saw pernah ditanya tentang apa amalan yang paling dicintai oleh Allah. Beliau pun menjawab, “amalan yang paling dicintai oleh Allah itu ialah yang paling berkesinambungan (istikamah), sekalipun sedikit.” (HR. Bukhari)
Hadits ini kiranya layak untuk menjadi bahan renungan bagi kita. Kamu yang setiap hari menghabiskan waktu di kantor, pabrik, sekolah, sawah, berjualan kaki lima, dan pekerjaan-pekerjaan semacamnya, yang menguras banyak waktu juga tenaga, tak perlu khawatir. Pekerjaan yang Kamu lakukan itu sendiri, kalau diniatkan untuk tujuan yang baik, akan tetap bernilai ibadah.
Ingat bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah bukanlah amalan yang banyak, tapi amalan yang sedikit asal dilakukan secara berkesinambungan atu konsisten. Adakah yang susah dengan shalat sunnah dua rakaat? Adakah yang sulit dengan sedekah sebesar dua sampai lima ribu rupiah? Adakah yang susah dengan membaca al-Quran satu sampai dua lembar? Semua itu ialah amalan-amalan kecil. Untuk mendapatkan keridhaan Allah, kita tidak selalu harus melakukan amalan-amalan besar. Sepeti membangun sekolah, masjid, menyekolahkan anak yatim, membuat Yayasan, dan lain sebagainya.
Jika Kamu mampu, tentu saja itu bagus. Tetapi, agama Islam tidak hanya diturunkan untuk orang-orang yang berlimpah harta. Tapi dia juga merupakan tuntunan menuju surga bagi orang-orang yang teringkus dalam keterbatasan dan hidup apa adanya. Jika kita berada dalam golongan yang kedua itu, jangan khawatir, jangan cemas, karena kita pun masih bisa melakukan amalan yang sangat ringan, tapi dia benar-benar dicintai Allah. Apa itu? Amalan yang sedikit, asal dilakukan secara berkesinambungan atu konsisten. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.
Muhammad Nuruddin, Lc. lahir di kota Sukabumi, 19 Desember 1994. Menamatkan sekolah dasar di SDN Lembur Tengah Sukabumi (1999-2005). Lalu melanjutkan studi SMP dan SMA di Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang (2005-2011).
Kini masih tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas al-Azhar jurusan Akidah-Filsafat. Aktif menulis di beberapa media online seperti arahbatin dan geotimes tentang tema-tema filsafat, logika, teologi, dan isu-isu keislaman. Buku pertamanya, Ilmu Mantik, diterbitkan oleh penerbit Darusshalih (Mesir) dan Keira Publishing (Depok).