September 15, 2024
Bagikan di akun sosial media anda

arahbatin.com | Dalam dunia sufi, nama Ibnu Arabi sudah begitu masyhur. Beliau adalah salah satu tokoh tasawuf falsafi. Pada awal Dia menempuh jalan sufi, Dia berguru pada seorang tokoh sufi besar yakni Abu al-Abbas al-‘Uryubi atau biasa disebut dengan Syekh al-‘Uryubi. Dia merupakan sosok yang sangat berpengaruh terhadap Ibnu Arabi perihal pandangan mulanya atas dunia kesufian.

Banyak ilmu yang diambil oleh Ibnu Arabi dari Gurunya yang satu ini. Di antara pelajaran terpentingnya ialah ketika dia menyangkal pendapat Gurunya sampai-sampai dia ditegur oleh Nabi Khidir as.

Suatu ketika Guru Ibnu Arabi, Syekh al-‘Uryubi, mengucapkan kepadanya bahwa dia bertemu dengan Nabi Muhammad SAW serta membawa kabar tentang seseorang. Mimpi yang dialami Syekh al-‘Uryubi memang kerap terjadi; mimpi yang merupakan anugerah kesufian yang tidak terkira indahnya.

Syekh Al-‘Uryubi berujar kepada Ibnu Arabi bahwa seseorang yang diberitakan Rasulullah dalam mimpinya sebagai kabar gembira ialah si fulan bin fulan. Sang Syekh lalu menyebut nama seseorang yang dimaksud. Secara tak sengaja, Ibnu Arabi telah mendengar nama yang telah diisebutkan oleh Gurunya tersebut, namun belum pernah bertatap muka secara langsung. Dia hanya pernah bertemu dengan sepupu dari si fulan tersebut.

Apa yang telah diucapkan Gurunya membuat janggal pikiran Ibnu Arabi, seolah dia ragu atas apa yang diucapkan oleh Gurunya. Dia merasa mengenal betul seluk-beluk nama yang diucapkan Gurunya. Berdasarkan penuturan oleh saudara sepupunya, rasanya tak mungkin bila nama tersebut merupakan yang dikabarkan Rasulullah SAW. Ibnu Arabi kemudian menanyakan kembali atas pandangan Gurunya tersebut. Tanpa sebab yang jelas, Sang Guru justru menarik perkataannya kembali. ketika itu mungkin Syekh Al-‘Uryubi memiliki maksud lain, tapi belum disadari oleh Ibnu Arabi.

Ibnu Arabi hanya menyadari bahwa Gurunya terlihat kecewa dengan penyanggahannya. Syekh al-‘Uryubi nampaknya sangat menyayangkan sikap Ibnu Arabi, namun Dia hanya diam tak berkata apa-apa terhadap Ibnu Arabi. Tak tahu harus berbuat apa, Ibnu Arabi hanya menduga-duga. Ketika itu ia benar masih awam dalam dunia suluk.

Sesudah menyangkal pandangan sang Guru, Ibnu Arabi lalu pamit pulang. Tak dinyana, di tengah perjalanan dia bertemu dengan seseorang yang tak dikenal, namun memberikan kesan yang begitu kharismatik dan mendalam di benaknya. Lebih terkejut lagi ketika orang tersebut ternyata mengenal Ibnu Arabi dengan baik. Bahkan, orang itu berucap salam padanya. Sebuah salam agung yang memancarkan kesejukan serta kasih sayang yang agung.

Orang itu kemudian berujar kepada Ibnu Arabi.

“Muhammad, benarkanlah apa yang menjadi perkataan Syekh Abu al-‘Abbas al-‘Uryubi kepadamu terkait dengan seseorang yang dimaksudkannya.”

Orang tersebut kemudian menyebutkan nama sama yang dimaksudkan oleh Gurunya. Segera Ibnu Arabi sadar, ia sedang berhadapan dengan orang shaleh dengan berbagai teka-teki yang menyelimutinya. Tapi, ia paham oleh apa yang dimaksud orang itu. Dia hanya bisa berkata, “Baiklah.” Setelah itu, ia menarik niat untuk pulang lalu kembali kepada Gurunya.

Dia sangat ingin menceritakan pengalaman menakjubkan yang baru dialaminya. Dia ingin bertanya kepada Gurunya siapa gerangan orang shaleh tersebut. Orang itu tahu benar siapa dirinya dan mengetahui kejadian yang baru saja terjadi antara Ibnu Arabi dengan Gurunya. Bukankah Gurunya mengenal banyak tokoh sufi agung?

Namun, begitu sampai ke tempat Gurunya, dia terkejut. Bagaimana tidak? Dia langsung disambut oleh perkataan sang Guru,

“Wahai Abu Abdillah, apakah aku harus membutuhkan Nabi Khidhir setiap kali aku menuturkan kepadamu suatu hal yang membuat hatimu merasa sulit untuk menerimanya?! Sehingga ia harus menegurmu dan mengatakan kepadamu agar membenarkan ucapan Gurumu atas apa yang diberitakannya kepadamu?! Apakah kejadian ini akan terus berulang setiap hatimu mengganjal untuk menerimanya?”

Mendengar perkataan Syekh al-‘Uryubi, Ibnu ‘Arabi merasa serba salah. Ia merasa dibukakan dengan kebenaran tentang apa yang sebelumnya dia tepis. Oleh karenanya, ia tak dapat berkata banyak. Bukti kenyataan tidak bisa ditampiknya. Hanya permintaan maaf yang bisa terucap dari bibir Ibnu ‘Arabi.

“Maafkan aku, Guru!” kata Ibnu Arabi

“Iyaa, sudah aku maafkan” jawab sang Guru.

Kecamuk Ibnu Arabi akhirnya reda tersiram maaf oleh Gurunya. ketegangan yang sebelumnya menggelayut di antara keduanya telah mencair. Ibnu Arabi merasa beruntung akan semua itu.

Oleh:
Bushiri
(Penulis Kolom)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page