ArahBatin.com | Ar-Raghib al-Ishfihani di dalam kitab “Al-Muhadharat” berujar bahwa ketika itu Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah dan pemilik Hizib Bahar, menceritakan sebuah kisah yang diperolehnya dalam sebuah mimpi. Yaitu kisah tentang pertemuan Imam Al-Ghazali dengan para nabi yang difasilitasi oleh Rasulullah saw:
Suatu ketika saya sedang beristirahat di teras Masjid al-Aqsha. Saya tertidur dan bermimpi melihat sebuah ranjang yang sedang disiapkan di halaman Masjid. Kemudian terlihat berduyun-duyunorang-orang berdatangan memasuki ruangan dengan riang gembira. Saya bertanya kepada mereka, “rombongan apa ini?”. Lalu mereka menjawab, “Kami rombongan para rasul dan nabi. Datang kemari untuk memohon syafaat bagi al-Hallaj kepada Rasulullah saw atas perlakuan buruk yang dialaminya,” jawab mereka.
Lalu saat saya kembali melihat ranjang, saya melihat Rasulullah saw sedang duduk di atasnya. Sementara para nabi dan rasul lainnya duduk di bawah. Di antara mereka ialah Nabi Isa, Nabi Musa dan Nabi Nuh as. Lalu saya bangun untuk menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan mereka.
Nabi Musa as terlihat berdiri dan memulai pembicaraan dengan Rasulullah saw. Nabi Musa berujar kepada Rasulullah saw, “Dalam sabdamu engkau berkata, ‘Ulama umatku seperti nabi-nabi bani Israil’, tolong tunjukkan kepadaku salah satu di antara mereka. Lalu Rasulullah saw menjawab, “Ini orangnya!” seraya beliau menunjuk Imam al-Ghazali.
Lalu Nabi Musa as menguji Imam al-Ghazali dengan mengajukan sebuah pertanyaan dengan harapan mendapatkan jawaban yang tepat. Kemudian Imam al-Ghazali memberikan jawaban atas satu pertanyaan tadi dengan sepuluh jawaban. Kemudian Nabi Musa pun merasa tak puas. Jawaban terlalu bertele-tele. Kemudian Imam al-Ghazali berkata, sepuluh jawaban yang saya berikan atas satu pertanyaan yang engkau ajukan ini justru terinspirasi dari engkau sendiri wahai Nabi Musa, yaitu saat engkau ditanya oleh Allah Swt, “Apa yang berada di tangan kananmu wahai Musa?” (QS Thaha: 17), sebuah pertanyaan yang jawabannya ialah tongkat, tetapi engkau menjawabnya dengan bermacam sifat yang ada dalam tongkat tersebut.
Apa yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali yang terinspirasi oleh Nabi Musa ini dimaknai oleh Sebagian ulama bahwa jawaban yang panjang atas pertanyaan singkat dari penanya ini sebagai taktik agar bisa berlama-lama dengan sang penanya. Karena, dalam konteks Nabi Musa as, sang penanya ialah Allah Swt, yang di mana Nabi Musa as ingin berbincang lebih lama. Sedangkan Imam al-Ghazali ingin bercengkrama lebih lama dengan Nabi Musa as.
*) Mengenai hadis Rasululullah saw yang dikutip oleh Nabi Musa as: ulama-ulama dari umatku seperti nabi-nabi bani Israil, secara sanad hadis dipermasalahkan oleh para ulama. Yakni hadisnya secara sanad tak memiliki sumber yang jelas. Hadis yang masyhur sekaligus sahih ialah al-Ulama’u waratsatul Anbiya’ (ulama adalah pewaris para Nabi).
Oleh:
Muhammad Idris
(Penulis Kolom)