ArahBatin.com | Manusia adalah makhluk yang bebas. Bebas berpikir, bebas bertindak. Bebas memilih, bebas menentukan kehendak. Ini adalah satu kenyataan yang tak butuh pembuktian panjang. Betapapun kita meyakini bahwa semua yang kita lakukan itu sudah terekam dalam pengetahuan Tuhan, pada akhirnya kita tidak akan bisa menolak satu kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang punya kebebasan dalam menentukan pilihan. Sekarang saya bisa menulis karena saya menggerakan kehendak saya untuk menulis. Sekiranya saya ingin berhenti menulis, maka dengan mudah saya bisa menggerakkan kehendak yang saya miliki untuk berhenti dari kegiatan menulis. Kenapa saya bisa memilih dua kemungkinan itu? Karena saya, sebagai manusia, adalah makhluk yang bebas. Tuhan menciptakan saya sebagai makhluk yang punya kehendak dan kebebasan dalam menentukan pilihan.
Persoalan iman dan kufur punya kaitan yang erat dengan adanya kebebasan itu. Kalau Anda mau menjadi orang beriman, Anda bisa menempuh cara-cara yang bisa mengantarkan Anda untuk menjadi orang beriman. Tapi kalau Anda mau mengingkari keberadaan Tuhan, Anda juga bisa menempuh jalan-jalan yang dapat mengantarkan Anda menuju pengingkaran itu. Dan itu semua bisa Anda lakukan dengan bebas. Selama kebebasan itu ada, maka Anda akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan Anda sendiri. Ada kebebasan, ada pertanggungjawaban. Tidak ada kebebasan, tidak ada siksaan. Karena itu, orang yang berada dalam keadaan terpaksa, dan dia mengingkari Tuhan dengan lisannya, tidak akan dikenakan sanksi di akhirat kelak.
Allah Swt berfirman:
“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16]: 106).
Al-Qur’an juga dengan tegas menolak adanya paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah [2]: 256). “…Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barangsiapa menghendaki beriman, hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir…” (QS. Al-Kahfi [18]: 29). Alhasil, persoalan iman dan kufur diserahkan sepenuhnya kepada pilihan manusia. Karena tidak ada paksaan, maka semua manusia Tuhan berikan kebebasan dalam soal memilih keyakinan. Dan karena adanya kebebasan itulah mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan mereka masing-masing.
Sampai di sini boleh jadi ada yang berkilah: Tapi bagaimana kalau sejak kecil saya ditakdirkan hidup di lingkungan orang-orang ateis? Bagaimana kalau sejak kecil ibu dan ayah saya orang ateis dan mereka mendidik saya untuk menjadi seorang ateis? Bukankah ketika itu saya punya alasan untuk tidak percaya dengan keberadaan Tuhan seperti halnya yang diajarkan oleh kedua orang tua saya?
Memang, kita akui, bahwa sedikit banyak lingkungan dapat mempengaruhi keyakinan dan cara pandang seseorang. Karena itu, jika Anda belum dewasa (akil-balig), dan Anda “terpaksa” harus hidup di lingkungan seperti itu, Anda tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas pengingkaran Anda itu. Tapi ketika Anda sudah dewasa, pada akhirnya di manapun Anda hidup, dan dalam lingkungan seperti apapun Anda bertahan, Anda adalah manusia yang dikaruniai akal, hati dan pancaindera. Dan Anda punya tanggung jawab untuk menggunakan itu semua dalam upaya mencari jalan kebenaran. Anda bisa melakukan itu semua dengan bebas. Tuhanlah yang memberi Anda akal, hati dan panca-indera itu. Tapi soal bagaimana hati itu difungsikan? Kemana langkah akal itu berjalan? Dan bagaimana panca-indera itu digunakan? Itu semua bergantung pada kehendak dan pilihan Anda sebagai makhluk yang dikaruniai kebebasan.
Selama kita punya akal, kita diminta untuk berpikir. Orang yang sedikit berpikir akan sedikit mendapatkan pelajaran. Orang yang sedikit mendapatkan pelajaran akan sedikit mendapatkan pengetahuan. Orang yang sedikit pengetahuan akan dilumuri kebodohan. Dan dengan kebodohan kita tidak akan mampu mengenal Tuhan. Tuhan akan membentangkan jalan hidayah bagi siapa saja yang ingin bersusah payah. Sebaliknya, Tuhan akan membentangkan jalan kesesatan bagi siapa saja yang ingin hidup dalam pengingkaran. Jadi, soal beriman atau tidak untuk kembali kepada pilihan kita masing-masing.
Memang, baik Anda beriman ataupun kafir, Tuhan sudah tahu terlebih dulu dengan keimanan dan kekufuran Anda itu. Tapi secara lahir, Anda tidak bisa menolak bahwa Anda punya kebebasan memilih dalam menentukan dua kemungkinan itu. Menjadi beriman, Anda bebas. Menjadi orang kafir, Anda juga bebas. Tidak ada paksaan di sana. Karena itu, jika kita menemukan orang-orang yang mengingkari keberadaan Tuhan, perlu kita pahami bahwa mereka itu adalah orang-orang yang telah menggunakan hak pilihnya secara bebas. Pengingkaran akan keberadaan Tuhan adalah konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang diberikan kepada setiap manusia itu sendiri.
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas. Konsekuensinya, sebagian manusia ada yang beriman, dan sebagian dari mereka ada yang menunjukkan kekufuran dan pengingkaran. Pengingkaran manusia terhadap sesuatu tentu tidak serta merta meniadakan sesuatu yang diingkari oleh manusia itu. Pengingkaran itu satu hal, dan ada-tidaknya sesuatu yang diingkari itu hal yang lain lagi. Keimanan manusia kepada Tuhan tidak serta merta menjadikan-Nya ada. Sebagaimana pengingkaran mereka akan Tuhan juga tidak serta merta menjadikan Dia tiada. Ada atau tiadanya Tuhan tidak bergantung pada keimanan dan kekufuran manusia.
Untuk menjawab pertanyaan apakah Tuhan benar-benar ada atau tidak—seperti kata William Lane Craig—kita perlu mengajukan dua pertanyaan. Satu, apakah ada argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan untuk membuktikan keberadaan-Nya? Dua, apakah ada argumen-argumen yang bisa dikemukakan untuk membuktikan ketiadaan-Nya? Melalui sejumlah argumen yang kita paparkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, terbukti bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan jauh lebih masuk akal ketimbang pandangan yang menafikan keberadaan-Nya. Setelah mengemukakan argumen-argumen tersebut, kita berhak meminta orang-orang yang mengingkari keberadaan Tuhan untuk menyuguhkan dalil-dalil tandingan yang bisa membuktikan ketiadaan-Nya. Yang jelas, pengingkaran seseorang terhadap sesuatu jelas tidak serta merta menafikan keberadaan sesuatu yang dia ingkari itu.
Kalau saya tidak percaya dengan keberadaan planet Mars, misalnya, apakah pengingkaran saya akan keberadaan planet itu dengan sendirinya menghilangkan keberadaan planet Mars itu sendiri? Tenu saja tidak. Pengingkaran manusia terhadap Tuhan juga begitu. Baik manusia beriman atau tidak, Tuhan tetaplah ada sebagaimana ada-Nya, berdasarkan argumen-argumen yang sudah kita paparkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Kalau yang bersangkutan menolak, kita berhak untuk bertanya tentang bukti-bukti yang dia miliki untuk membuktikan ketiadaan Tuhan itu. Apa bukti kalau Tuhan itu tidak ada? Dan di sanalah kita bisa berdebat keras seputar masalah itu.
Sebagai wujud yang punya kekuasaan mutlak, Tuhan bisa saja menjadikan semua manusia beriman. Tuhan berkuasa menjadikan semua manusia baik. Sebagaimana Dia juga berkuasa untuk menjadikan semua manusia buruk. Tak ada yang mustahil dengan itu semua. Tapi, sekali lagi, kita adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan. Dan dengan adanya kebebasan itu Tuhan ingin memberi kita ujian. Surga dan neraka menjadi tidak bermakna tanpa adanya kebebasan itu. Siksaan dan ganjaran juga menjadi tidak berguna jika kita tidak punya kebebasan dalam menentukan pilihan kita.
Tampaknya, dunia ini pun tak akan terasa indah jika semua manusia berada dalam satu titik keyakinan yang sama. Mengandaikan semua manusia beriman sama saja dengan mengandaikan lenyapnya kebebasan yang ada dalam diri manusia. Keindahan dunia ini justru hanya bisa terwujud dengan adanya perbedaan dan keragaman. Dan perbedaan itu tak akan muncul tanpa adanya kebebasan. Keragaman dan perbedaan itu harus ada. Dan karena itulah Tuhan menciptakan kebebasan di dalam diri manusia. Dengan kebebasan itu manusia bisa beriman. Dan dengan kebebasan itu pula manusia bisa mengingkari keberadaan Tuhan.
*Ilmu kalam seputar ketuhanan semuanya bisa anda simak di buku saya dengan judul Seri Ilmu Kalam Seputar Ketuhanan, Keira Publishing, 2021
Muhammad Nuruddin, Lc. lahir di kota Sukabumi, 19 Desember 1994. Menamatkan sekolah dasar di SDN Lembur Tengah Sukabumi (1999-2005). Lalu melanjutkan studi SMP dan SMA di Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang (2005-2011).
Kini masih tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas al-Azhar jurusan Akidah-Filsafat. Aktif menulis di beberapa media online seperti arahbatin dan geotimes tentang tema-tema filsafat, logika, teologi, dan isu-isu keislaman. Buku pertamanya, Ilmu Mantik, diterbitkan oleh penerbit Darusshalih (Mesir) dan Keira Publishing (Depok).