Dalam kitab al-Wâbil ash-Shayyib (13-16), Imam Ibnu Qayyim ─semoga Allah Swt. merahmatinya─ berkata:
Tidak ada jalan menuju Allah Swt. yang lebih dekat daripada penghambaan, dan tidak ada hijab yang lebih tebal daripada mengaku-aku.
Penghambaan berporos pada dua hal yang menjadi dasarnya: cinta yang sempurna dan perendahan diri secara total. Dua dasar ini bersumber dari dua dasar lainnya yang telah disebutkan, yaitu: (1) mengakui anugerah, yang melahirkan cinta; (2) memerhatikan aib jiwa dan amal, yang melahirkan perendahan diri secara total. Jika hamba membangun perjalanannya kepada Allah Swt. di atas dua dasar ini, maka musuhnya tidak akan berhasil menguasainya, kecuali jika dia lengah dan terpedaya.
Ini hanya akan terwujud baginya dengan kelurusan hati dan anggota tubuhnya. Kelurusan hati terwujud dengan dua hal:
Pertama, menjadikan cinta kepada Allah Swt. melebihi semua cinta. Jika cinta kepada Allah Swt. bertentangan dengan cinta kepada yang lain, maka cinta kepada Allah Swt. akan mengalahkan cinta kepada yang lain. Lalu dia mengikuti itu dengan konsekuensinya. Ini sangat mudah untuk diaku, tapi sangat sulit untuk dikerjakan. Saat ujianlah seseorang dimuliakan dan dihinakan. Betapa sering hamba mendahulukan apa yang dicintai dan diinginkannya, atau dicintai pembesarnya, pemimpinnya, guru-gurunya, dan keluarganya, atas apa yang dicintai Allah Swt. Ini berarti bahwa cinta kepada Allah Swt. belum melebihi semua cinta dalam hatinya, dan belum menjadi ratu yang berkuasa. Sunnah Allah Swt. terhadap orang yang demikian ini adalah bahwa cinta-cintanya itu akan menyulitkan dan menyusahkannya. Dia tidak akan meraih sesuatu pun darinya kecuali dengan kecemasan dan kesusahan, sebagai balasan baginya karena telah mendahulukan hawa nafsunya atau hawa nafsu orang yang diagungkan dan dicintainya di antara makhluk atas cintanya kepada Allah Swt. Ketetapan yang telah dibuat Allah Swt. tak dapat ditolak dan dihindari, yaitu bahwa siapa yang mencintai sesuatu selain-Nya maka pasti akan disiksa dengannya, siapa yang takut kepada sesuatu selain-Nya maka akan dikuasai olehnya, siapa yang menyibukkan diri dengan sesuatu selain-Nya maka itu akan menjadi kemalangan baginya, siapa yang mengutamakan sesuatu atas-Nya maka tidak akan diberkati di dalamnya, dan siapa membuat ridha selain-Nya dengan kemurkaan-Nya maka pasti akan dimurkai-Nya.
Kedua, mengagungkan perintah dan larangan. Ini bersumber dari pengagungan terhadap Yang memerintah dan Yang melarang. Allah Swt. mencela orang yang tidak mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Dia berfirman,
مَا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا
“Mengapa kalian tidak takut akan kebesaran Allah?” (QS: Nûh [71]: 13).
Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam tentang pengagungan perintah dan larangan, yaitu janganlah kita terhalangi oleh sikap meremehkan yang kering atau terjerumus ke dalam sikap keras yang melampaui batas.
Makna perkataannya: Tingkatan pertama dari pengagungan terhadap Allah Swt. adalah pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya. Yang demikian itu karena seorang mukmin mengenal Tuhannya melalui risalah yang dibawa oleh Rasulullah Saw. kepada seluruh manusia. Konsekuensinya adalah kepatuhan terhadap perintah dan larangan-Nya. Dan itu hanya terjadi dengan mengagungkan perintah Allah Swt. dan mengikutinya, serta mengagungkan larangan-Nya dan meninggalkannya. Jadi, pengagungan seorang mukmin terhadap perintah Allah Swt. dan larangan-Nya menunjukkan pengagungannya terhadap Pemilik perintah dan larangan itu. Dan berdasarkan pengagungan ini, dia akan masuk ke dalam golongan orang-orang shaleh, yang diakui keimanannya, keyakinannya, kebenaran akidahnya, dan kebersihannya dari kemunafikan akbar.
Seseorang kadang mengerjakan perbuatan yang diperintahkan agar dilihat oleh sesama makhluk atau untuk mencari martabat dan kedudukan di sisi mereka, dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang karena takut kedudukannya di mata mereka akan jatuh atau takut akan hukuman-hukuman duniawi yang ditetapkan oleh Allah atas perbuatan-perbuatan yang dilarang itu. Apa yang dilakukannya ini tidaklah bersumber dari pengagungan terhadap perintah dan larangan, tidak pula dari pengagungan terhadap Yang memerintah dan Yang melarang.
Tanda pengagungan terhadap perintah adalah: (1) menjaga waktu-waktu dan batas-batasnya; (2) memeriksa rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan kesempurnaannya; (3) menjaga pelaksanaannya pada waktunya; (4) bersegera melaksanakannya ketika kewajiban mengerjakannya tiba; (5) bersedih, berduka, dan menyesal ketika melewatkannya. Misalnya, orang yang bersedih atas ter-lewatkannya shalat berjamaah. Dia tahu, kalaupun shalat yang dikerjakannya sendirian diterima, dia telah kehilangan pahala 27 kali lipat. Seandainya seseorang yang berpengalaman dalam hal jual beli kehilangan satu transaksi di negerinya, tanpa harus melakukan perjalanan dan menanggung kesulitan, nilainya sebesar 27 dinar, niscaya dia akan menggigit jarinya karena menyesal dan sedih. Bagaimana pula jika setiap kelipatan pahala shalat berjamaah lebih baik daripada seribu, sejuta, dan seterusnya yang dikehendaki Allah Swt. Jika seorang hamba menyia-nyiakan keuntungan ini, sungguh ia sangat merugi. Banyak di antara ulama yang mengatakan bahwa shalatnya sia-sia. Hatinya dingin, tidak merasakan musibah ini dan tidak takut terhadapnya. Ini disebabkan tidak adanya pengagungan terhadap perintah Allah Swt. dalam hatinya.
Begitu pula jika dia melewatkan permulaan waktu shalat yang di dalamnya terdapat ridha Allah Swt. Atau melewatkan shaf pertama yang di sebelah kanannya Allah dan para malaikat berdiri. Seandainya para hamba mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan memperebutkannya, dan akan diadakan undian. Begitu pula melewatkan jamaah yang banyak, yang berdasarkan banyak dan sedikitnya pahala shalat dilipatgandakan. Semakin banyak jumlah jamaah, semakin dicintai oleh Allah Swt. Dan semakin jauh langkah yang diayunkan, maka satu langkah akan menggugurkan dosa dan langkah yang lain akan mengangkat derajat.
Begitu pula melewatkan kekhusyukan dan kehadiran hati dalam shalat di hadapan Allah Swt., yang merupakan ruh dan inti shalat. Shalat tanpa kekhusyukan dan kehadiran hati seperti jasad yang mati tanpa ruh di dalamnya. Tidakkah seorang hamba merasa malu jika mempersembahkan seorang budak laki-laki atau budak perempuan yang mati kepada seorang makhluk yang sama sepertinya? Apa yang ada dalam benak si hamba ini sehingga mempersembahkan hadiah ini kepada orang yang ditujunya, baik itu raja, amir, atau lainnya? Shalat yang tidak disertai kekhusyukan, kehadiran hati, dan kebulatan tekad kepada Allah Swt. sama kedudukannya dengan mayat budak laki-laki atau budak perempuan yang dipersembahkan kepada seorang raja ini. Karena itu, Allah Swt. tidak akan menerimanya. Meskipun itu menanggalkan kewajiban dalam hukum dunia, namun Allah tidak akan memberikan pahala atasnya. Sebab, tidak ada yang didapatkan oleh hamba dari shalatnya kecuali apa yang dipahaminya dari shalatnya itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Sunan, Musnad Imam Ahmad, dan lainnya, bahwa Nabi Saw.,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلَاةَ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا نِصْفُهَا إِلَّا ثُلُثُهَا إِلَّا رُبُعُهَا إِلَّا خُمُسُهَا حَتَّى بَلَغَ عُشُرُهَا.
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan shalat, dan tidak ditulis baginya kecuali separuhnya, kecuali sepertiganya, kecuali seperempatnya, kecuali seperlimanya, hingga sampai sepersepuluhnya.”
Harus diketahui bahwa ini berlaku pada seluruh amal. Perbedaan derajat amal-amal di sisi Allah Swt. adalah berdasarkan perbedaan iman, keikhlasan, cinta, dan hal-hal yang mengikutinya dalam hati. Amal yang sempurna akan menghapuskan dosa secara sempurna. Dan amal yang tidak sempurna akan menghapuskan dosa sesuai kadarnya.