September 15, 2024
Bagikan di akun sosial media anda

ArahBatin.com | Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili adalah sosok sufi yang menyeru kepada sesuatu yang baru dalam tradisi tasawuf, yaitu tasawuf yang menggerakkan dalam setiap aspek kehidupan—sebagaimana ia juga tak melarang seorang salik berusaha atau bekerja dalam rangka mendapatkan kehidupan duniawi yang lebih baik. Sebab, selama ia ingin menye-barkan ajaran tasawuf ini dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, maka sebaiknya ia meninjau kembali mengenai konsep “pengalaman luar biasa yang keluar dari adat kebiasaan (khâriqu al- ‘adat)”, yang merupakan dasar dari tradisi tasawuf lama, terkhusus tasawuf Malamatiyyah. Karena konsep yang demikian ini meski ia diiringi dengan dalil-dalil edukatifnya telah ketinggalan zaman dan tentu saja sudah tidak sesuai dengan spirit zaman yang ada saat ini.

Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dengan pandangan visionernya tentang dunia tasawuf telah mengetahui bahwa maksud dari konsep khâriqu al-‘adat sejatinya bukanlah sebagaimana dipahami oleh beberapa kelompok penganut pemahaman letterlek, sebaliknya ia memahami konsep ini dengan pengertian dan faidah yang dihasilkan dari lelaku sufistik seperti penyucian batin dan mengasahnya. Dan, hal ini bisa berjalan dengan sempurna apabila seorang mukmin mengisi batinnya dengan hakikat keyakinan. Sebab, setiap kali keyakinan yang dimiliki seorang salik itu menguat—sebagaimana yang dikatakan Syekh Abbas Al-Mursi—maka dirinya akan keluar dari dunia dengan dirinya sendiri tanpa sedikit pun membutuhkan khâriqu al-‘adat.

Barangkali Syekh Abbas Al-Mursi terilhami spirit tarekat ini, dan bersumber dari sabda Nabi Saw. yang tertera dalam doanya, “Ya Allah, bagikanlah kepada kami sebagian dari ketakutan-Mu yang menghalangi antara kita dan maksiat-maksiat-Mu. Dan, berikanlah kami sebagian dari ketaatan-Mu yang akan mengantarkan kami ke surga-Mu, dan sebagian keyakinan yang akan meringankan musibah yang kami alami di dunia.”

Oleh karena itu, dalam hal dakwah sufistik Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili memulainya terlebih dahulu dengan mengubah keyakinan umum masyarakat sufi mengenai dunia tasawuf ini. Sebab masayarakat awam pada awalnya tidak melihat dunia kecuali dengan kacamata hambar dan tidak realistis—sebagaimana halnya mereka juga menganggap dunia ini bagaikan penjara bagi manusia dan ruhnya. Ia berkata, “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Adam diciptakan Allah dengan kekuasaan-Nya dan meminta malaikat untuk bersujud kepadanya dan menempatkannya di surga, kemudian diturunkannya ia ke bumi. Allah menurunkan Adam ke bumi bukan untuk mengurangi kemuliaannya, tetapi untuk menyempurnakannya. Dia telah menurunkan Adam di muka bumi, sebagai bentuk dari tujuan diciptakannya. Allah Swt. berfirman, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Ayat ini dengan jelas tidak mengatakan “di langit, ataupun di surga”. Sehingga jelaslah bahwa turunnya Adam ke muka bumi adalah bentuk penurunan yang mulia, bukan suatu kehinaan. Sesungguhnya, Adam beribadah kepada Allah di surga dengan mengenal-Nya, kemudian Allah menurunkannya agar ia beribadah dengan beban taklif. Ketika di dalam dirinya sudah terdapat dua bentuk penyembahan atau ibadah, dia berhak menjadi khalifah di muka bumi. Begitupun kalian, wahai manusia, ingatlah bahwa kau memiliki bagian dari Adam!”

Jadi bisa dikatakan bahwa tiada alasan untuk mempersempit pemahaman tentang dunia tasawuf ini, apalagi mengeluhkannya, dan menyeru kepada hal-hal luar biasa yang keluar dari adat istiadat dan sunnah kehidupan yang telah Allah tetapkan. Dalam dasar tarekat syukr ini, bagi Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili—sebagaimana disebutkan oleh Abdul Aziz Dibag—berseberangan dengan ta-rekat mujahadah dalam tradisi tasawuf lama. Sebaliknya, Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili menempuh jalan baru dalam dunia tasawuf yang belum pernah dilakukan oleh para sufi sebelumnya. Kenyataan yang demikian ini seperti apa yang diungkapkan oleh Daud bin Bakhila, “Dalam jalan menuju kepada Allah, Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili datang dengan cara yang mengagumkan, manhaj yang tidak biasa, dan rute yang agung nan dekat.”

Amatlah wajar apabila cara hidup Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili berbeda dengan cara hidup para sufi sebelumnya. Ia suka—semoga Allah merahmatinya—mengenakan baju yang mewah, menunggangi hewan tunggangan yang cepat dan kuda yang cepat. Dia juga tidaklah terkesan dengan baju-baju lusuh yang dikenakan para sufi secara umum. Dikisahkan, suatu ketika ada seorang fakir yang menemui Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dan ketika itu ia mengenakan pakaian yang lembut nan mewah. Setelah ia selesai berbicara, seorang fakir itu mendekatinya, lalu memegang pakaiannya yang bagus. Ia berujar, “Wahai tuanku, tidaklah seorang hamba Allah memakai baju seperti yang kau kenakan ini?” Kemudian ia memegang pakaian orang fakir itu, didapatinya kain yang amat kasar. Kemudian ia berkata, “Tidaklah pula seorang hamba Allah mengenakan pakaian seperti yang kau kenakan. Bajuku akan berkata, ‘Aku tidak memerlukan kalian, maka jangan beri aku sedekahmu’, dan bajumu akan berkata, ‘Aku butuh kepada kalian, tolong berilah aku sedekahmu!’”

Dengan pemahaman yang baru dan amat mendalam tersebut setidaknya menyingkap seberapa dalamnya Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili memahami tujuan-tujuan syariat dan spirit tasawuf, sehingga ia menjadi sosok sufi yang berani menyeru kepada corak tasawuf baru dan menyebarluaskannya kepada masyarakat kaum Islam.

Syekh Abbas Al-Mursi menyebutkan bahwa suatu ketika dirinya menemui Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dan dia juga berniat kuat untuk memakan panganan yang keras dan memakai pakaian yang kasar pula, maka beliau pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Al-Abbas! Kenalilah Allah dan jadilah seperti yang kau kehendaki!”

Bahkan tak hanya itu, Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili juga berkali-kali menegaskan prinsip ini yang kemudian ia jadikan sebagai dasar dalam tarekatnya. Misalnya lagi, dalam salah satu perkataannya kepada salah seorang murid yang berkeinginan untuk meminum air yang bersuhu panas, ia berkata, “Wahai anakku! Dinginkanlah air itu. Sesungguhnya jika kau meminum air dingin itu kemudian kau mengucap al-hamdulilah, maka setiap anggota badanmu pun akan menjawab dengan perkataan al-hamdulillah.”

Apabila para pemimpin tarekat kesufian, seringkali membebani para muridnya dengan berbagai pembebanan dan mujahadah-mujahadah yang amat berat, sebagaimana biasanya mereka menjadikan pelepasan harta dari para muridnya sebagai dasar dalam mendidik, maka Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili menolak seluruh cara yang demikian ini. Pola pendidikan jiwa ala Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili ini kemudian juga diikuti oleh Syekh Abbas Al-Mursi dalam mendidik para muridnya.

Suatu ketika Ibnu Atha’illah As-Sakandari bercerita mengenai Abdurraziq, seorang wali besar—semoga Allah meridhainya. Ada seorang laki-laki penduduk Mahdiyyah datang menemuinya. Kemudian Syekh Abdurraziq berkata kepadanya, “Aku melihat bekas kenikmatan pada dirimu. Dari mana asalmu? Dan, apa ceritamu?” Kemudian laki-laki itu berkata, “Aku salah seorang ulama besar Mahdiyyah, yang paling kaya dan mulia. Kemudian ada seorang yang mengaku bahwa dia bisa menunjukkan jalan kepada Allah, maka aku mendatanginya. Aku sangat ingin sampai kepada Allah. Kemudian orang itu berkata kepadaku, “Sesungguhnya kau tidak akan sampai kepada Allah, sampai kau mengeluarkan seluruh hartamu dan bahkan sampai kau menceraikan istrimu dan mengubah gaya berpakaianmu”. Maka aku pun melakukan apa yang ia katakan. Tetapi hatiku tidaklah bertambah kecuali semakin keras. Dadaku menjadi begitu sesak. Seluruh hartaku telah pergi. Tapi dengan semua itu, batinku tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu Syekh Abdurraziq berkata, “Itu adalah dakwah yang tidak sesuai dengan keinginan-Nya, semoga Allah membinasakan mereka!” Sehingga apa yang syekh Abdurraziq lakukan tidak lain adalah menunjukkannya kepada jalan yang dapat mengembalikan hartanya. Lelaki itu pun melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Kemudian Allah membukakan mata hatinya dalam jalan ini.

Oleh karena demikian, Syekh Abbas Al-Mursi berkata tentang tarekatnya dan juga tarekat gurunya, “Jika ada seorang murid yang mendatangi kami dan ia memiliki harta dunia, maka kami tidaklah berkata kepadanya, ‘tinggalkanlah hartamu itu dan kemarilah!’ Tapi, kami menyerunya hingga cahaya-cahaya karunia bercucuran dalam dirinya, sehingga dia dapat keluar dari dunia dengan sendirinya.” Selanjutnya, ia juga menegaskan makna ini dengan memberikan permisalan dalam sebuah cerita yang unik. Ia berkata, “Perumpamaannya adalah seperti kaum yang menaiki sebuah perahu. Pemimpin kapal itu berkata kepada mereka, ‘Besok akan ada badai dan tidaklah ada di antara kalian yang selamat kecuali kalian membuang beberapa barang milik kalian. Buanglah barang-barang itu sekarang!’ Tetapi tidak ada yang menggubris perkataan sang nahkoda, sehingga ketika badai itu datang, maka yang cerdas adalah mereka yang membuang barangnya dengan sendirinya.”

Kemudian, Syekh Abbas Al-Mursi juga mengomentari cerita ini dengan kalimat yang pendek, yang sepatutnya ditulis dengan tinta emas, lantaran dalam kalimat pendek itu, ia menyimpulkan tarekat syukr yang dilakukan Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dalam praktik tasawufnya yang revolusioner. Ia berkata, “Begitu pula yang terjadi ketika badai keyakinan menghantam, maka seorang murid akan keluar dari dunia dengan sendirinya.”

*Kisah ini disadur dari buku Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili – Sang Wali Penembus Batas. Keira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page