September 15, 2024
Bagikan di akun sosial media anda

ArahBatin.com | Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lahir di perkampungan Naif, di wilayah Jailan belakang Thabaristan, dekat perbatasan Iran di Laut Qazwain (Laut Putih Tengah). Jailan disebut juga Kailan, Jail, atau Kail. Semua nama tersebut adalah sama. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. lahir pada tahun 470 H.

Riwayat ini disimpulkan dari pernyataan beliau, saat beliau ditanya kelahirannya. Beliau menjawab, “Aku tidak tahu persis perihal tersebut, namun yang jelas aku datang ke Baghdad pada tahun At-Tamimi meninggal dan umurku saat itu 18 tahun.” At-Tamimi yang beliau maksud adalah Abu Muhammad Rizqullah bin Abdul Wahab bin Abdul Aziz bin Al-Harits bin Asad, ia wafat tahun 488 H.

Berdasarkan perhitungan tahun wafatnya At-Tamimi, maka Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. lahir tahun 470 H.

Konon, ibunya mengandung beliau ketika umurnya sudah 60 tahun. Kata orang-orang saat itu, tidak ada wanita yang bisa mengandung saat usia 60 tahun, kecuali keturunan Quraisy, dan tidak ada yang bisa mengandung saat berumur 50 tahun kecuali orang Arab asli. Setelah ibunya melahirkannya pada tahun 470 H, datanglah keramat dari sekelilingnya. Abdul Qadir kecil hidup dalam buaian dan kasih sayang keluarganya dan hidup di lingkungan orang-orang saleh. Demikian kehidupan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. hingga beliau datang ke Baghdad di tahun meninggalnya At-Tamimi tahun 488 H. dalam usia 18 tahun.

Khalifah Baghdad saat itu adalah Al-Mustazhhir Billah, Abu Al-Abbas Ahmad bin Al-Muqtadi bi Amrillah Abu Qasim Abdullah Al-Abbasi.

Masa Remaja

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. dilahirkan tahun 740 H. (1077 M.) di Naif, suatu perkampungan di Jailan. Tersebut nama Jailan dibaca dengan jim (Arab), namun berbeda dengan orang-orang Persia, mereka malah menggunakan huruf kaf menjadi Kailan. Dengan demikian, ada dua nama untuk satu tempat ini: Jailan dan Kailan. Jailan atau Kailan adalah sebuah nama dari gugusan perkampungan di belakang Thabaristan. Desa Jailan bukanlah sebuah perkotaan yang besar, tetapi ia lebih mirip sebuah gugusan perkampungan yang berada di antara pegunungan. Sampai sekarang perkampungan itu dinamakan Kailan, yaitu wilayah Iran yang terletak di pegunungan Al-Buruz, terbentang dari ujung utara sampai barat, di pesisir pantai selatan Laut Qazwain (Laut Putih Tengah).

Beliau diasuh oleh kakek dari jalur ibunya As-Sayyid Abdullah Ash-Shaumi’i Al-Husaini. Karenanya, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. akrab dipanggil dengan nama Ibnu Ash-Shaumi’i. Beliau mempunyai adik laki-laki bernama Abdullah, seperti yang dituturkan oleh Ibnu Imad Al-Hanbali dalam Syadzrat Adz-Dzahab. Menurut laporan Ibnu Imad, adiknya adalah orang saleh, hidup di Jailan dan wafat juga di Jailan.

Dari kecil, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani sudah menampakkan dirinya sebagai remaja yang rajin beribadah, saleh, bertakwa, zuhud di dunia, mengutamakan negeri akhirat, dan terobsesi mengetauhi usul dan cabang syariat secara detail. Sementara itu, di Jailan saat itu belum ada orang yang dapat memenuhi keinginannya dan menghilangkan rasa hausnya terhadap ilmu syariat. Karenanya, tebersit dalam hatinya untuk pergi ke Baghdad yang menjadi pusat kemajuan Islam. Kala itu, penduduk Jailan adalah penganut mazhab Hanbali. Hal itu terjadi setelah Sunnah yang Suci memperoleh kemenangan di tangan pembelanya, Imam Ahmad bin Hanbal. Kemenangan inilah yang mengharumkan namanya sebagai pembela Sunnah dan mendapatkan simpati di seluruh negeri Islam sehingga banyak orang yang menjadi pengikutnya.

Wafatnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani wafat pada hari Sabtu tanggal 8 Rabiul Akhir tahun 561 H. Beliau dimakamkan pada malam hari di pesantrennya, di perkampungan Bab Al-Azj. Saat beliau wafat, orang-orang berdatangan memenuhi Bab Al-Azj. Akibatnya, jalan, halaman rumah, pasar, dan pertokoan dipenuhi orang-orang. Tanpa tersisa satu pun dari warga Baghdad, melainkan ia mendatangi prosesi pemakaman jenazahnya, hingga beliau tidak dapat dikebumikan, melainkan setelah malam menjelang. Kemudian anaknya, Syekh Abdul Wahab, menshalatkannya. Pada hari itu semua orang turut menyaksikan kepergian beliau.

Konon, beliau belum pernah mengalami sakit yang parah, kecuali sakit menjelang wafat beliau, itu pun hanya sehari semalam.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. pernah berkata ketika putranya, Syekh Abdul Aziz, bertanya, “Sesungguhnya sakitku ini tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang bisa mengerti baik manusia, jin, maupun malaikat. Tidak akan berkurang ilmu Allah dengan hukum-Nya. Hukum-Nya bisa berubah-ubah, sementara ilmu-Nya tidak pernah berubah.

Selanjutnya ia mengangkat kedua tangannya sambil menjawab salam kedua malaikat maut, “Wa’alaikum salâm warahmatullâhi wabrakâtuh.” kemudian datanglah sakaratul maut, kemudian beliau mengulang-ulang kalimat berikut:“Aku meminta pertolongan dengan perantara kalimat ‘Lâ ilâha illallâh subhânahu wata’âla huwa al-hayyu alladzî lâ yamûtu wa lâ yakhsya al-maut, subhâna man ta’azzaza bi al-qudrah wa qahara ibâdahu bi al-maut, lâ ilâha illallâh muhammad rasûlullâh [Tiada tuhan selain Allah Yang Mahasuci, Maha Luhur yang tidak mati dan tidak takut mati. Mahasuci Dzat Yang Agung dengan kekuasaan-Nya dan yang memaksa hamba-Nya mati. Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah]’.”

Pada saat beliau berusaha mengucapkan lafaz “ta’azzaza”, berulang kali beliau berupaya mengucapkannya hingga akhirnya beliau dapat mengucapkannya. Kemudian, beliau berkata, “Allah… Allah… Allah!” sehingga suaranya mengecil seraya mulut yang masih berucap kalimat itu. Dan pada akhirnya, beliau wafat.

Disadur dari Buku Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani R.A. (1077-1166): Mohamed Fadil Al-Jailani Al-Hasani. Keira. 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page