ArahBatin.com | Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu mendekat (la tarkanu) kepada orang-orang yang zhalim, atau kamu akan dilahap api neraka.” (QS. Hud [11]: 113). Sebagian ahli tafsir mengatakan, “Para pakar bahasa sepakat, bahwa ‘mendekat’ di dalam ayat di atas mengandung makna ‘cenderung’ dan ‘berdiam sebentar’.”
Ikramah berkata, “Jangan sampai ayat di atas disalahartikan.” Makna tersurat dari ayat di atas adalah larangan untuk mendekati orang-orang musyrikin dan orang-orang munafik di kalangan kaum muslimin.
An-Naisaburi berkata dalam tafsirnya, “Para peneliti mengatakan, ‘Pendekatan yang dilarang adalah perasaan rela terhadap kezhaliman yang mereka lakukan. Atau membantu jalan mereka, atau bekerjasama dengan mereka dalam melaksanakan kezhaliman. Adapun berdekatan dengan mereka untuk mendatangkan manfaat atau menghilangkan kejelekan tidak termasuk di dalam kemudharatan yang dilarang.’ Hal ini aku katakan sebagai ‘dispensasi’, tetapi yang lebih bagus adalah menjauh dari mereka (kaum musyrik dan munafik) secara total. ‘Bukankah Allah telah mencukupi (kebutuhan) semua hamba-Nya?’ (QS. Az-Zumar [39]: 36)”
Menurutku, apa yang dikatakan oleh an-Naisaburi untuk tidak berdekatan dengan orang-orang musyrik dan munafik sangatlah benar. Apalagi di masa sekarang, di mana sudah tidak mudah lagi melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdekatan dengan mereka hanya akan mendatangkan bencana.
Jika pendekatan ini hanya akan lebih banyak mendatangkan kezhaliman, akan semakin merusak moral, hanya akan memancing kerusakan yang bersumber dari perilaku jelek mereka, hanya akan mendekatkan diri kepada pola hidup mereka yang buruk, hanya akan menyeret kita kepada kutub kehidupan mereka yang fana—padahal itu tidak lebih berharga dari sayap seekor nyamuk—maka di antara orang yang mendekati dan yang didekati adalah sama.
Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang (mengikuti) agama teman dekatnya. Maka lihatlah siapa yang akan menjadi temannya.”
Ada sebuah hadits yang mengatakan, “Seorang teman yang baik ibarat seseorang yang menjual minyak kasturi. Walau ia tidak memberimu, tetapi engkau mendapatkan bau wangi darinya. Sedangkan sahabat yang jelek adalah ibarat tukang minyak celup (goreng), walau tidak “membakarmu” tetapi engkau mendapatkan bau tak sedap darinya.”
Allah Swt. berfirman, “Perumpamaan orang-orang yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah adalah ibarat laba-laba yang membangun rumah…” (QS. Al-Ankabut [29]: 41)
Allah Swt. berfirman, “Hari (ketika) Kami panggil manusia dengan para imam mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]: 71). Maksudnya, nanti di hari kiamat. Para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan “para imam” tersebut. Ibnu Abbas mengatakan, “Yang dimaksud “para imam” di situ adalah kitab kumpulan amal manusia.” Artinya, manusia dipanggil dengan membawa kitab amal masing-masing. Ini diperkuat dengan firman Allah Swt.: “Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanan…”
Ibnu Zaid al-Imam berkata, “Yang dimaksud di sana adalah kitab suci yang diturunkan Allah, seperti Taurat, Injil, dan al-Qur’an.” Sedangkan Mujahid dan Qatadah mengatakan, “Imam mereka adalah Nabi-Nabi mereka. Maka akan dipanggil, ‘Wahai para pengikut Ibrahim…’, ‘Wahai para pengikut Isa’ atau ‘Kemarilah, wahai pengikut Muhammad Saw.’”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Yang dimaksud dengan Imam mereka adalah imam yang hidup semasa dengan mereka. Mereka akan dipanggil bersama imam mereka, imam yang menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar pada saat itu.”
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah Saw. bersabda, “Ketika Allah mengumpulkan semua manusia di hari kiamat nanti, setiap kaum akan mengangkat bendera mereka. Lalu terdengar panggilan ‘Ini pengikut Fulan bin Fulan’…”
Allah Swt. berfirman, “Ketika bumi digoncang dengan goncangan (yang dahsyat), dan ia mengeluarkan kabar beritanya…” (QS. Az-Zalzalah [99]: 1-2). Ibnu Abbas berkata, “Maksudnya, bumi mengeluarkan apa yang ada di dalam perutnya, seperti orang-orang mati dan para penghuni kuburan.”
Abu Hurairah menceritakan, bahwa Rasulullah Saw. pernah membaca ayat, “Pada hari itu bumi menceritakan kabar beritanya..,” Rasulullah bertanya, “Apakah kalian tahu apa kabar berita bumi?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah bersabda, “Kabar beritanya adalah kesaksian bumi tehadap semua yang dilakukan anak manusia di atas permukaannya.”
Diceritakan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Jagalah bumi, karena ia adalah “ibu” kalian. Tidak ada seorang pun yang mengerjakan sesuatu di muka bumi, baik atau buruk, kecuali ia akan menceritakannya…” (HR. ath-Thabrani).
Disadur dari buku Menyelami Isi Hati. Imam Al-Ghazali. Keira. 2018 Diterjemahkan dari Tahzib Mukasyafah al-Qulub Karya Imam al-Ghazali