February 5, 2025
2
Bagikan di akun sosial media anda

Secara lahir, alam ini indah dipandang, sedangkan secara batin, ia amat buruk. Siapa yang melihat kepada lahirnya, ia akan mendapatinya hijau, indah dan menyilaukan. Pasti ia tertipu karenanya dan akan suka melihatnya. Tapi siapa yang melihat hakikat batinnya, ia akan mendapatinya kering, mati dan kotor sehingga akan menjadikannya bahan pelajaran dan menjauhinya.

Nafsu selalu melihat kepada hiasan alam yang menyilaukan sehingga ia tertipu dan pemiliknya akan binasa. Sementara kalbu akan melihat kepada batinnya atau keburukannya sehingga ia akan berkaca di sana dan terhindar dari keburukannya.

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ عِزٌّ لاَ يَفْنَى – فَلاَ تَسْتَعِزَّنَّ بِعِزٍّ يَفْنَى

Jika engkau menginginkan kemuliaan yang abadi, maka jangan membanggakan kemuliaan yang fana.

Jika kau menghendaki kemuliaan abadi, maka jauhilah segala sebab, dan yakinlah dengan adanya Sang Pencipta sebab. Karena Pencipta sebab adalah Tuhan Yang Abadi, sehingga ketergantunganmu kepada-Nya menjadi sumber kemuliaan yang abadi.

Jangan kau tertipu dengan kemuliaan yang fana, misalnya dengan membutuhkan semua sebab itu dan tidak menyadari siapa Penciptanya. Karena sebab itu fana, maka ketergantunganmu terhadap sebab menjadi sumber kemuliaan yang tidak abadi.

Apabila kau merasa mulia karena Allah, maka kemuliaanmu akan abadi dan tak seorang pun yang mampu menghinakanmu. Tetapi jika kau mendapat kemuliaan dari selain-Nya, seperti dari harta, kehormatan, kedudukan dan sebagainya, dan kau merasa puas di sana serta kau menjadikannya sandaran, lalu kau lalai dari Tuhanmu, maka tak ada keabadian bagi kemuliaanmu itu. Karena tak ada kemuliaan pada sesuatu yang kau banggakan selain Tuhan.

Oleh sebab itu, saat seorang ‘ârif mendengar suara seseorang yang menangis, ia bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu?” Orang itu menjawab, “Guruku meninggal dunia.” Kemudian orang ‘ârif itu berkata, “Mengapa kau anggap gurumu yang mati?”

اَلطَّيُّ اْلحَقِيْقِيُّ أَنْ تَطْوِيَ مَسَافَةَ الدُّنْيَا عَنْكَ ؛ حَتَّى تَرَى اْلآخِرَةَ أَقْرَبَ إِلَيْكَ مِنْكَ

Perjalanan singkat yang sesungguhnya adalah, bila kau mempersingkat perjalanan dunia sehingga engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu ketimbang dirimu sendiri.

“Mempersingkat perjalanan dunia” adalah dengan menjauhinya, tidak menyibukkan diri dengan kenikmatan dan syahwatnya, dan tidak terlena di sana. “Akhirat lebih dekat” maknanya, ia selalu di depan matamu dan tidak jauh dari hatimu. Inilah singkatnya perjalanan yang sebenarnya. Dengannya, Allah memuliakan para wali-Nya, dan dengannya pula, ‘ubudiyah mereka terwujud dengan sempurna. Singkatnya perjalanan bukan dengan dipendekkannya jarak bumi untuk para pengembara yang mencari kebenaran, karena bisa jadi pengembaraan mereka hanyalah kedok dan tipuan belaka. Bukan pula dengan disingkatnya malam dan siang bagi orang yang banyak bangun malam dan berpuasa, karena bisa jadi amalnya itu mungkin disertai sifat riya dan ‘ujub sehingga akibatnya malah kerugian.

Jarak dunia ini tidak mungkin bisa disingkat untuk seorang hamba, kecuali jika cahaya keyakinan dalam hatinya terpancar. Saat itu, dunia akan sirna dari matanya dan dia melihat akhirat hadir di hadapannya atau ada pada dirinya. Siapa yang penyaksiannya seperti ini, maka pada dirinya tidak akan ada kecintaan terhadap dunia, sebab ia menggantinya dengan yang lebih abadi, yaitu akhirat.

Apabila cahaya keyakinan (nûr al-yaqîn) belum terpancar dari hatinya, maka ia akan selalu mencintai dunia, merasa tenang dan nyaman di sana, lebih mengutamakannya daripada akhirat dan menjauhi Tuhannya. Hal itu karena keyakinan dan ketakwaannya lemah.

اْلعَطَاءُ مِنَ اْلخَلْقِ حِرْمَانٌ ، وَاْلمَنْعُ مِنَ اللهِ إِحْسَانٌ

Pemberian dari makhluk adalah keterhalangan, sedangkan penangguhan pemberian dari Allah merupakan karunia.

Jika seorang manusia memberimu sesuatu lalu kau ambil pemberian itu seraya lalai kepada Tuhanmu, maka sekalipun itu secara lahir pemberian, tetapi secara batin, itu maknanya keterhalanganmu dari karunia Allah. Karena kau hanya melihat selain Allah dan terlalu bergantung kepada nasib mujurmu.

Dan jika Allah enggan memberimu, maka sesungguhnya itu adalah karunia untukmu, karena dengan begitu, hatimu tidak pernah akan melupakan-Nya. Walaupun secara lahir Allah tidak memberimu, tetapi secara batin itu adalah pemberian-Nya kepadamu. Sebab Allah memaksamu untuk berdiri di depan pintu-Nya dan membebaskanmu dari hijab-Nya.

Kesimpulannya, pemberian dari makhluk adalah keterhalangan, karena di dalamnya tersimpan kecintaanmu terhadap mereka karena pemberian itu. Kau pasti selalu mengikuti keinginan mereka agar bisa mengambil pemberian itu. Sedangkan penangguhan pemberian Allah merupakan kebaikan untukmu, karena Dia adalah Kekasihmu. Setiap yang dilakukan seorang kekasih, tentu dicintai oleh yang mengasihinya.

Dalam wasiatnya, Ali ra. berkata, “Jangan anggap ada pemberi nikmat selain Allah! Anggap nikmat yang kau terima dari selain-Nya sebagai utang yang harus kau bayar!”

Disadur dari buku Al-Hikam Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Syekh Abdullah Asy-Syarqawi Al-Khalwati. Turos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page