February 5, 2025
2
Bagikan di akun sosial media anda

ArahBatin.com | Bisa dikatakan, salah satu sebab mengapa penyematan filsafat kepada pengalaman Ibn Arabi begitu meruyak adalah lantaran kurang menonjol-nya kajian tentang riwayat hidup Ibn Arabi. Dengan mencermati riwayat hidup Ibn Arabi, mau tak mau seorang pengkaji akan masuk dalam ranah kesufian sebagai laku keshalehan yang dijalani sang sufi. Karena kesufian dalam pandangan Ibn Arabi—dan kaum sufi secara umum—adalah lingkup terberi yang memungkinkan mereka mendapatkan penyingkapan ketuhanan.

Dengan mencermati riwayat hidup Ibn Arabi secara terperinci, penyematan sifat filsafat kepada pengalaman sang sufi ini menjadi bermasalah. Karena sifat filsafat itu tak pernah hadir dalam laku kesufian Ibn Arabi. Karena sifat itu tak pernah hadir, maka tak mungkin dikatakan sebagai filsafat kesufian, atau filsafat takwil, atau kemungkinan filsafat-filsafat lain yang disifati dengan sifat baru.

Sebenarnya usaha untuk menghadirkan riwayat Ibn Arabi sebagai seorang sufi sudah dimulai sejak Asin Palacios dalam bukunya yang sudah disebutkan di atas—buku yang kemudian oleh Abdurrahman Badawi diterjemahkan dengan judul Ibn Arabi: Hayâtuh wa Madzhabuh”.

Dalam dua bagian yang diterjemahkan dari tiga bagian yang ada, bagian yang pertama merupakan kajian tentang riwayat hidup Ibn Arabi. Riwayat sejak ia kecil sampai masa kematangan kesufiannya hingga akhirnya menetap di Damaskus dan meninggal di sana. Hanya saja, sisi kecacatan kajian Asin Palacios yang ditangkap basah oleh para pengkaji dewasa ini, selain terdapat dalam ranah kerangka pikiran Ibn Arabi, juga ditemukan dalam ranah riwayat hidup yang disuguhkannya.

Ia berkata, “Berkat jasa Ibn Arabi, ruh Neo-Platonisme dan Kristen bisa meresap ke dalam kehidupan dan pemikiran-pemikiran Islam. Dan demikianlah, peradaban-peradaban yang membangun peradaban Barat—melalui Islam—sampai pada titik terjauh di dunia Timur. Ia juga mampu memberikan bantuan yang menonjol dalam memberikan pengaruh dari nama Plato dan Yesus al-Masih ke dalam hati sebagian kelompok kecil dari sejumlah agama yang beragam.”

Kajian riwayat hidup Ibn Arabi di tangan Palacios bukan malah menghadirkan hidupnya pengalaman kesufian yang memperoleh bentuknya dari keshalehan para sahabat Nabi Muhammad Saw. dan generasi zuhud setelahnya. Di tangannya, keshalehan Ibn Arabi tak lebih hanyalah batu loncatan dari keshalehan Neo-Platonis dan Kristen untuk meresap ke dalam kehidupan Islam. Tentu saja, cara baca seperti ini malah menghancurkan keshalehan islami yang hidup dan luruh dalam pengalaman Ibn Arabi.

Henry Corbin—seorang pakar kajian Islam dari Prancis yang lebih suka disebut sebagai filsuf—berusaha membenahi kesalahan Palacios. Ia menulis buku tentang kesufian Ibn Arabi berjudul “L’Imagination créatrice dans le Soufisme d’Ibn ‘Arabî” pada tahun 1958. Buku itu kemudian diterjemah ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Creative Imagination in the Sûfism of Ibn ‘Arabî pada tahun 1969. Dan diterjemah ke dalam bahasa Arab berjudul “Al-Khayâl al-Khallâq fî Tashawuf Ibn Arabî, serta diterjemahkan ke dalam bahasa asing lainnya.

Sejak diterbitkan, buku itu mendapatkan perhatian dari pengkaji Ibn Arabi dan pengkaji filsafat Islam dari berbagai kalangan secara marak. Karena, selain kedalaman kajian yang disuguhkan, buku itu hadir dengan bahasa yang mengagumkan. Ia mempunyai daya tarik yang memikat dalam penjelasannya. Ia berhasil menggabungkan antara kecenderungan ilmiah dan kecenderungan sastrawi sehingga daya pikat pikiran Ibn Arabi menjadi semakin menarik dan memukau.

Buku yang sebenarnya mengkaji tentang “Khayalan Kreatif dalam Kesufian Ibn Arabi” itu menghadirkan kajian tentang riwayat hidup Ibn Arabi secara mendalam. Kajian riwayat hidup ini mengambil sepertiga bagian dari keseluruhan isi buku.

Sayangnya, ke dalam kajian riwayat hidup ini, dikaburkan oleh pembaurannya dengan kajian filsafat yang disematkan kepada sang sufi ini. Lebih dari itu, sebagai seorang pakar tradisi Syi’ah, Henry Corbin mencoba mendudukkan Ibn Arabi dalam lingkup tradisi Syi’ah. Ia ingin mengetengahkan satu anggapan bahwa keshalehan Ibn Arabi adalah bagian dari tradisi tersebut.

Dalam mencermati riwayat hidup Ibn Arabi, Henry Corbin, misalnya, berkata, “Pertanyaan pertama kali yang patut kita tanyakan perihal Ibn Arabi secara pasti adalah sejauh mana kebatinan Syi’ah Ismailiyah, atau kebatinan yang terkait dengannya, telah dilebur oleh Ibn Arabi sebelum ia meninggalkan negeri Islam bagian Barat untuk selamanya?” Pertanyaan ini diajukan setelah ia sampai kepada kesimpulan bahwa kelahiran Ibn Arabi bertepatan dengan perayaan pertama kali dari peristiwa paling penting dalam sejarah Syi’ah Ismailiyah, yaitu proklamasi kebangkitan pemimpin agung di wilayah Alamut.

Tentu saja, penafsiran seperti itu merupakan usaha ilmiah yang agak dipaksakan. Barangkali, dalam taraf-taraf tertentu, cara seperti itu kurang memenuhi ukuran ilmiah yang ada. Karena tak didukung dengan penalaran-penalaran yang memadai. Juga tak ada pengesahan dari teks-teks (karya-karya) Ibn Arabi.

Bahkan, sepertinya penalaran seperti itu akan mendapatkan penolakan yang tegas dari teks-teks Ibn Arabi. Karena sikap Ibn Arabi terhadap Syi’ah jelas: ia mengecam dengan keras cara berpikir dan perilaku kaum Syi’ah dalam menjalankan laku keshalehan agama.

Ibn Arabi berkata, “Setan memberikan dasar yang benar dan tak diragukan lagi kepada mereka, ahli bid’ah dan hawa nafsu. Kemudian muncullah dalam pikiran mereka pengkaburan-pengkaburan disebabkan oleh ketidakpahaman mereka. Akhirnya mereka tersesat. Ketersesatan ini kemudian dinisbatkan oleh mereka kepada setan. Padahal mereka tahu, dalam hal ini setan lebih merupakan murid yang belajar dari mereka. Kejadian seperti ini banyak terjadi di dalam Syi’ah—terutama Syi’ah Imamiah.”

Beberapa tahun setelah meninggalnya Henry Corbin pada tahun 1978, Claude Addas berusaha membenahi pembelokan alur riwayat hidup Ibn Arabi. Ia menulis buku berjudul “Ibn ‘Arabî ou La quéte du Soufre Rouge” Buku ini kemudian diterjemah ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Quest for the Red Sulphure; The Life of Ibn Arabi”, pada tahun 1993, dengan penambahan di sana-sini oleh penulisnya sendiri. Itu sebabnya, terjemahan ini lebih patut disebut sebagai terbitan edisi kedua ketimbang sekadar pengalih-bahasaan.

Buku ini berusaha melacak riwayat hidup Ibn Arabi dari sumber-sumber pokok yang mungkin dapat dicapai. Dari awal sampai akhir, buku ini menyibukkan diri hanya pada runtutan kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan Ibn Arabi. Addas, sebagai penulis, lebih suka menempatkan dirinya sebagai penutur. Seolah-olah ia sedang bertutur sebegitu rupa kepada para pendengarnya tentang Ibn Arabi agar riwayat itu mengalir. Ini merupakan capaiannya yang luar biasa dalam kajian kesufian dari tradisi bahasa Eropa.

Ia berkata, “Pada intinya, tujuanku berkaitan tentang riwayat hidup. Buku ini memuat usaha pelacakan pengembaraan kesufian dan penge-tahuan dari Ibn Arabi. Sebisa mungkin, mendudukkannya secara tegas dalam lingkup keagamaan dan kesejarahan masanya. Dalam bingkai ini, tak mungkin mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan telaah yang mendalam atas ajaran-ajaran Ibn Arabi.”

Ayahnya sendiri, Michel Chodkiewicz, memberikan pujian yang mendalam atas apa yang berhasil dilakukan oleh putrinya itu. Ia berkata, “Kajian yang dilakukan oleh Claude Addas atas Ibn Arabi adalah kajian yang menyeluruh dalam segala ukuran. Oleh karena itu, merupakan keharusan untuk merujuk kepadanya dan memanfaatkannya, baik yang berkaitan dengan riwayat hidup Ibn Arabi atau karya-karyanya dan ajarannya.”

Laiknya seorang penutur, ia dituntut untuk mampu memberikan gambaran kisah cerita yang menarik. Ia juga dituntut untuk menyuguhkan runtutan cerita yang urut. Dan ini berhasil dituntaskannya dengan baik. Ia berhasil menyuguhkan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan Ibn Arabi dengan disertai rujukan-rujukan asli atau yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

Hanya saja, watak penuturan seperti itu, selain merupakan sebuah keistimewaan tetapi pada saat yang sama juga bisa menjadi kelemahan. Dengan mempertahankan watak bertuturnya yang lugas, ia tak mempunyai banyak waktu untuk masuk ke dalam penjelasan yang berkaitan dengan ajaran Ibn Arabi. Hal ini sudah dikatakannya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page