جَلَّ رَبُّنَا أَنْ يُعَامِلَهُ اْلعَبْدُ نَقْدًا فَيُجَازِيْهِ نَسِيْئَة
Mustahil, Allah menangguhkan balasan pahala bagi hamba yang beramal baik kepada-Nya secara kontan.
“Kontan” maknanya, menghadap Allah dengan bermacam ketaatan secara langsung. Dan bila Allah tidak langsung memberinya pahala, maka itu adalah hak Allah. Tetapi itu bukanlah kebiasaan Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Kuasa. Pahala amal tidak hanya diberi di hari akhir. Allah terkadang memberikan sebagian pahala untuk beberapa orang wali-Nya di dunia untuk mendorong mereka agar terus bersungguh-sungguh dalam beramal. Karenanya, para wali itu langsung merasa bahwa amalnya dikabulkan Allah. Kemudian Ibnu Atha’illah menjelaskan tentang pahala langsung itu dengan ucapannya:
كَفَى مِنْ جَزَائِهِ إِيَّاكَ عَلَى الطَّاعَةِ – أَنْ رَضِيَكَ لَهَا أَهْلاً
Cukuplah sebagai balasan Allah atas ketaatanmu ketika Dia meridhaimu sebagai pelaku ketaatan.
Maknanya, Allah memberi pahala langsung kepadamu dengan membimbingmu agar selalu melakukan ketaatan dan menakdirkanmu untuk itu. Jika tidak, maka sadarilah bahwa sifat-sifat aslimu adalah malas dan tidak peduli pada ketaatan. Jika Allah membimbingmu untuk melakukan ketaatan, berarti itulah pahala-Nya yang langsung untukmu di dunia, karena hal itu bisa membuatmu dekat dengan-Nya. Lagi pula, kau hanyalah hamba yang lemah dan tak layak untuk memberikan pelayanan kepada Sang Raja Diraja. Oleh sebab itu, saat kau dekat untuk melayani-Nya dan Dia meridhaimu sebagai ahli ketaatan, itulah nikmat terbesar untukmu dari-Nya.
Kemudian Ibnu Atha’illah menyebutkan pahala langsung lainnya, dengan ucapannya:
كَفَى اْلعَامِلِيْنَ جَزَاءً – مَا هُوَ فَاتِحُهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ فِي طَاعَتِهِ ، وَمَا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْهِمْ مِنْ وُجُوْدِ مُؤَانَسَتِهِ
Cukuplah sebagai balasan bagi orang-orang yang beramal, apa yang membuat hati mereka terbuka pada ketaatan dan apa yang membuat hati mereka puas dekat dengan-Nya.
Saat mereka taat kepada Allah, Dia memberi mereka pemberian-pemberian ilahi, ilham laduni, dan manisnya duduk di hadapan Sang Raja Diraja.
Seseorang berkata, “Di dunia ini tidak ada waktu yang senikmat kenikmatan ahli surga, kecuali manisnya waktu munajat yang didapat ahli tamalluq (yang biasa duduk di hadapan Tuhannya) di malam hari. Rasa manis dan nikmat munajat inilah yang disebut oleh para ahli tarekat sebagai ahwâl (keadaan batin), mawâjid (emosi) dan adzwâq (perasaan). Kesenangan dan rasa manis itu terjadi setelah sebuah amal rampung. Menurut mereka, kesenangan adalah rasa bahagia hati karena melihat indahnya Kekasih. Ini adalah kondisi yang membuat seorang yang sedang jatuh cinta semakin segar dan semangat, membuat waktunya semakin jernih, dan di dalamnya ia takut petaka kehinaan.
مَنْ عَبَدَهُ لِشَيْءٍ يَرْجُوْهُ مِنْهُ – أَوْ لِيَدْفَعَ بِطَاعَتِهِ وُرُوْدَ اْلعُقُوْبَةِ عَنْهُ – فَمَا قَامَ بِحَقِّ أَوْصَافِهِ
Siapa yang beribadah lantaran mengharap sesuatu dari Allah atau untuk menghindari hukuman-Nya berarti belum menunaikan hak-hak sifat-Nya.