ArahBatin.com | Di satu sisi kadang kita bisa memahami mengapa ada sebagian dari kalangan umat beragama yang memahami Tuhan sesuai dengan apa yang berlaku bagi dirinya. Manusia ingin memahami Tuhan seperti halnya dia memahami diri dia sendiri. Jika mereka melihat segala sesuatu bertempat, mereka pun terjebak dalam bayangan bahwa Tuhan juga merupakan sesuatu yang bertempat. Kalau mereka melihat segala sesuatu berwaktu, maka mereka juga terhanyut dalam keyakinan bahwa Tuhan juga tak lepas dari yang namanya waktu itu.
Fisik kita terangkai dari tangan, kepala, betis, kaki dan organ-organ tubuh lainnya. Di lingkungan umat beragama, ada juga orang-orang yang menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang memiliki organ-organ tubuh seperti itu. Tuhan memliki tangan, kaki, betis, mata dan lain semacamnya. Hanya saja, kata mereka, organ tubuh yang dimiliki oleh Tuhan tentu berbeda dengan organ tubuh yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Kalau satu ayat menyatakan bahwa Tuhan punya tangan, maka mereka memaknai kata tangan itu dengan pemaknaan yang sesungguhnya.
Tetapi, kata mereka, tangan Tuhan berbeda dengan tangan kita. Mata Tuhan berbeda dengan mata kita. Kaki Tuhan juga berbeda dengan kaki kita. Betis Tuhan juga berbeda dengan betis kita. Begitulah cara mereka berkilah. Pertanyaannya: Apakah keyakinan seperti itu bisa kita terima? Apakah kita bisa menerima keyakinan yang menyamakan Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya? Kalau kita ajukan kepada al-Qur’an, pertanyaan ini hanya akan melahirkan satu jawaban. Al-Qur’an menegaskan bahwa Tuhan itu, laisa kamitslihi syai, “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” (QS. As-Syura [42]: 11).
Lebih jelasnya, ayat tersebut hendak menegaskan bahwa yang seperti seperti Tuhan itu tidak ada. Makna tersebut ditangkap dari adanya kuruf kaf dan kata mitsl. Kamitslihi. Jadi, yang dinafikan bukan hanya yang serupa dengan Tuhan, tapi yang serupa dengan yang serupa dengan Tuhan itu juga tidak ada. Para ahli tafsir memaknai ayat tersebut sebagai bentuk penegasan kuat akan tidak adanya sesuatu yang serupa dengan Tuhan. Jika yang serupa dengan yang serupa dengan Tuhan saja tidak ada, apalagi yang serupa dengan Tuhan. Yang serupa dengan Tuhan lebih layak untuk dinafikan.
Dengan begitu, apapun yang Anda bayangkan tentang Tuhan, maka Tuhan berbeda dengan apa yang Anda bayangkan. Yang serupa dengan yang serupa dengan Tuhan saja dinafikan. Apalagi wujud yang serupa dengan Tuhan. Alhasil, kalau begitu, Tuhan berada di luar jangkauan nalar manusia. Kenapa Dia harus berada di luar jangkauan manusia? Karena kalau Dia terjangkau oleh nalar, berarti yang Anda sebut sebagai Tuhan itu adalah sesuatu yang diciptakan oleh nalar. Kalau Dia bisa terjangkau, berarti Dia terbatas. Kalau Dia terbatas, berarti Dia tidak jauh berbeda dengan makhluk.
Keyakinan yang mempersis-samakan Tuhan dengan makhluk-Nya adalah keyakinan yang tertolak. Tertolak dari sudut pandang logika sebelum tertolak menurut teks-teks suci agama. Sebagai sang khaliq, Tuhan haruslah berbeda dengan makhluk. Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun hampir tidak butuh dalil untuk mengamini satu kenyataan bahwa yang dibuat pasti tak akan pernah sama dengan yang membuat.
Kalau Anda melihat seorang pelukis hebat, sehebat apapun orang itu melukis, pasti dia tidak akan pernah mampu membuat lukisan yang persis sama dengan dirinya. Orang mau buat apa saja pasti yang dibuat tidak akan pernah sama dengan yang membuat. Atas dasar itu, sungguh merupakan keyakinan yang sangat masuk akal manakala Tuhan diyakini sebagai wujud yang berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya. Akal kita tidak akan sulit untuk menerima keyakinan semacam itu.
Sebagai manusia kita adalah wujud yang tersusun. Tangan, kaki, mata, telinga, betis dan semua organ tubuh yang kita miliki itu merupakan bagian-bagian yang menyusun satu-kesatuan kita. Dan fisik kita butuh pada bagian-bagian itu. Saya butuh tangan untuk menulis, mata saya butuhkan untuk membaca, kaki saya gunakan untuk berjalan, telinga saya butuhkan untuk mendengar, mulut saya butuhkan untuk menelan makanan, dan begitu seterusnya. Semua itu adalah bagian-bagian yang saya butuhkan.
Konsekuensinya, kalau Tuhan diyakini sama seperti makhluk-makhluk-Nya, yang pada umumnya tersusun dari bagian-bagian, maka niscaya wujud Tuhan juga butuh pada bagian-bagian yang membentuknya itu. Tuhan menjadi jism (jasad) seperti halnya makhluk. Apa yang berlaku bagi makhluk juga harus berlaku bagi Tuhan. Sementara al-Qur’an menyatakan bahwa Dia itu tidak diserupai oleh sesuatu. Karena itu, menurut keyakinan yang sahih, Tuhan tak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya.
Kalaupun ada kesamaan, kesamaan itu paling hanya menyangkut nama saja. Adapun soal hakikat sudah pasti berbeda. Kita meyakini Tuhan sebagai Dzat yang Maha Penyayang, misalnya. Manusia juga punya kasih sayang. Tapi hakikat kasih kasih sayang Tuhan sudah pasti berbeda dengan kasih sayang manusia. Tuhan mendengar. Manusia juga mendengar. Tapi pendengaran Tuhan tentu tidak butuh pada telinga seperti halnya kita. Hal yang sama berlaku bagi sifat-sifat yang lainnya.
Alhasil, sebagai pencipta, Tuhan harus berbeda dengan makhluk-Nya. Dan inilah yang dimaksud dengan sifat mukhâlafah lil hawâdits yang kita yakini sebagai salah satu sifat negasi yang dimiliki oleh Allah Swt. Sifat tersebut menegaskan bahwa Allah Swt berbeda dengan hawâdits. Hawâdits merupakan bentuk jamak dari kata hâdits. Yang dimaksud dengan hâdits ialah sesuatu yang baru (ada dari ketiadaan). Yaitu makhluk. Dengan meyakini sifat tersebut, kita percaya bahwa Tuhan berbeda dengan seluruh makhluk, bukan hanya manusia.
Dia bukan substansi, bukan aksiden, bukan jasad, tidak tersusun, tidak bertempat, tidak berwaktu, kalau mendengar tidak dengan telinga, kalau melihat tidak dengan mata, kalau bicara tidak melahirkan suara, dan begitu seterusnya. Kalau Tuhan dipersamakan dengan makhluk, maka konsekuensinya apa yang berlaku bagi makhluk juga bisa berlaku bagi Tuhan. Makhluk itu lemah, berubah-ubah, dan pada akhirnya akan musnah.
Tapi apakah Tuhan bisa menerima sifat-sifat itu? Teks Agama berkata tidak, nalar sehat kitapun tak akan mudah untuk berkata iya. Kalau Tuhan bisa berubah dan musnah, misalnya, seperti halnya makhluk, maka tentu di sana harus ada wujud lain yang berperan dalam perubahan yang dilalui oleh Tuhan. Tidak bisa Anda mengatakan bahwa Tuhan berubah atau memusnahkan diri-Nya sendiri. Karena hal itu bertentangan dengan keyakinan Anda yang mempersamakan Tuhan dengan makhluk.
Setiap makhluk adalah sesuatu yang mungkin (mumkin/contingent). Kalau ada pasti ada yang mengadakan, kalau tiada maka pasti ada yang meniadakan. Kalau Tuhan dipersamakan dengan makhluk, maka Tuhan juga termasuk sesuatu yang mumkin, yang kalau ada pasti ada yang mengadakan, dan kalau tiada pasti ada yang meniadakan. Dengan begitu, Tuhan menjadi tergantung pada sesuatu yang lain. Dan kalau tergantung namanya sudah bukan Tuhan lagi. Karena itulah kita percaya bahwa Tuhan berbeda dengan seluruh makhluk. Karena kalau Tuhan dipersamakan dengan makhluk, maka apa yang berlaku bagi makhluk juga berlaku bagi Tuhan. Dan akal kita akan kesulitan untuk menerima keyakinan itu.
*Ilmu kalam seputar ketuhanan semuanya bisa anda simak di buku Muhammad Nuruddin dengan judul Seri Ilmu Kalam Seputar Ketuhanan, Keira Publishing, 2021
Muhammad Nuruddin, Lc. lahir di kota Sukabumi, 19 Desember 1994. Menamatkan sekolah dasar di SDN Lembur Tengah Sukabumi (1999-2005). Lalu melanjutkan studi SMP dan SMA di Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang (2005-2011).
Kini masih tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas al-Azhar jurusan Akidah-Filsafat. Aktif menulis di beberapa media online seperti arahbatin dan geotimes tentang tema-tema filsafat, logika, teologi, dan isu-isu keislaman. Buku pertamanya, Ilmu Mantik, diterbitkan oleh penerbit Darusshalih (Mesir) dan Keira Publishing (Depok).