
ArahBatin.com | Ketika para diktaror berkuasa, kezaliman tersebar, dunia serasa sempit bagi orang yang menghendaki kebaikan dan perbaikan, yang makruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi makruf. Tatkala itu terjadi, Allah akan mengutus orang yang memperbaiki apa yang telah rusak dan mengembalikan kebenaran ke tempatnya. Kalau bukan mereka, akan rusaklah dunia dan akan hilang agama ini, ini sudah menjadi Sunnatullah yang berlaku pada makhluk-Nya. Allah Swt. berfirman, “Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan perubahan pada sunah Allah, (Al-Ahzab: 62)”.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah satu orang terkemuka yang memperbaiki perkara agama dan memberikan lentera guna menerangi jalan yang benar. Dengan kesungguhan dan keikhlasan, mereka membangunkan umat ini dari kelalaiannya dan kelupaannya. Dalam dakwahnya, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menyeru manusia untuk bangun dari keterpurukannya yang telah mewabah di kalangan kaum Muslimin. Hal ini diakibatkan oleh Perang Salib yang dampaknya sampai ke jantung pemerintahan Islam.
Puncak dari tragedi itu adalah Baitul Maqdis dalam jajahan Pasukan Salib. Setelah mereka berhasil menaklukkan Baitul Maqdis, mereka membunuh kaum Muslimin yang tidak berdosa di area Masjid Al-Aqsha. Kurang lebih 70.000 nyawa kaum Muslimin dibantai oleh mereka. Halaman Masjid Al-Aqsha dibanjiri darah anak-anak, wanita, serta kakek-kakek. Sementara itu, para penguasa Muslim justru duduk manis dengan tenang, bahkan mereka tenggelam dalam pertikaian dan permusuhan di antara mereka. Mereka tak berdaya melawan musuh yang jelas-jelas telah menipu mereka.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani datang ke Baghdad pada tahun 488 H. kemudian beliau melakukan mujahadah dengan zuhud dan beribadah selama 20 tahun. Setelah itu, beliau memberikan ceramah dan pengajian. Awalnya sangat sedikit orang yang mendatangi majelisnya, kemudian orang-orang berbondong-bondong mendatangi majelisnya. Jumlah mereka lebih dari 70 ribu orang. Beliau juga membangun kelas khusus untuk belajar hukum agama dan pemondokan untuk para murid. Beliau telah membuat metode yang sangat sempurna dengan visi membentuk mereka menjadi manusia yang intelek, memiliki spiritual, mampu bersosialisasi, dan semangat untuk berjihad.
Konon, para alumni madrasahnya adalah orang-orang yang membawa semangat jihad untuk membebaskan Masjid Al-Aqsha dari Pasukan Salib. Mereka semua bergabung di bawah bendera Jenderal Shalahuddin Al-Ayyubi. Maka, jelas sudah bahwa Madrasah Qadiriyah berperan besar dalam mengusir Pasukan Salib dan membebaskan Masjid Al-Aqsha dari jajahan mereka dan mengembalikannya ke asalnya, ini terjadi di kepemimpinan Az-Zankiyah. Di antara murid-murid beliau yang terkenal adalah:
Ibnu Naja Al-Wa’izh, penasihat Shalahuddin dalam urusan politik dan militer.
Al-Hafizh Ar-Rahawi dan Musa (putra Syekh Abdul Qadir), ia pindah ke Damaskus untuk mempersatukan umat dibawah kepemimpinan az-zankiyah (komando jihad). Ia bertugas sebagai pembimbing mental dan pendidikan yang dibutuhkan dalam kondisi tersebut.
Syekh Muwaffiquddin bin Qudamah Al-Maqdisi. Ia merantau dari Jamail ke madrasah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, kemudian dididik dan dibina secara ilmiah dan amaliyah untuk menjadi penasehat Shalahuddin. Sahabatnya yang bernama Abdul Ghani Al-Maqdisi, As’ad bin Al-Manja bin Barakat, Hamid bin Mahmud Al-Hurrani, dan masih banyak lagi yang juga merantau ke Baghdad.
Walaupun Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. sibuk dengan anak didiknya, tetapi Beliau tidak lupa dengan perannya untuk meluruskan hal-hal yang dianggap melenceng pada masa itu. Beliau mengadakan pengajian rutinan untuk memberikan tausiah dan pengarahan. Beliau sangat perhatian dalam membina kepribadian individu dalam kaitannya sebagai tonggak masyarakat, yaitu dengan mengosongkan dirinya dari cinta dunia dan mengarahkannya untuk melihat kehidupan akhirat. Ceramah dan tausiah beliau telah didokumentasikan dalam kitab Al-Fath Ar-Rabbani. Dalam kitab tersebut tertulis tanggal dan tempat beliau menyampaikan ceramahnya.
Beliau juga menyimpulkan bahwa penyebab kerusakan pada zaman tersebut adalah tunduknya para ulama kepada raja dan penguasa demi mendapatkan keuntungan dunia. Oleh sebab itu, beliau sering mem-peringatkan para santrinya agar tidak mendengarkan perkataan mereka atau belajar kepada mereka. Beliau juga mengkritik para pemimpin yang zalim, beliau menggunakan kesempatan tersebut ketika bertatap muka bersama mereka.