
ArahBatin.com | Ibnu Atha’illah berkata:
مِنْ عَلاَمَةِ الاِعْتِمَادِ عَلَى العَمَلِ – نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزلَلِ
Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf.
Amal yang dimaksud di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah mereka (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah para ‘abîd (orang yang tekun beribadah) dan para murîd (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sedangkan golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukâsyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik (‘ârif). Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Karena menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah Swt. semata, sedangkan mereka ha-nyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah Swt.
Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha’illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, dan bukan pada Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Yang Maha Rahmat, yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, maka ia dianggap termasuk go-longan ‘abîd atau murîd. Tetapi apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya maka ia termasuk golongan ‘ârif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan ‘ârif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami mu-syâhadah (merasa melihat Tuhan), golongan ‘ârif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam dua kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah, dan kebaikan atau ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.
Maka, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqâm (kedudukan) ‘ârif dengan banyak melakukan olah batin (riyâdhah) dan wirid.
Melalui hikmah di atas, Ibnu Atha’illah ingin mendorong para sâlik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah; termasuk bergantung pada amal ibadah.
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ – مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الأسْبَابِ – مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ ، وَإِرَادَتُكَ الأسْبَابَ – مَعَ إقَامَةِ اللهِ إيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ – اِنْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَالِيَةِ
Keinginanmu untuk lepas dari urusan duniawi, padahal Allah telah menyediakan sarana-sarana penghidupan untukmu, termasuk syahwat yang tersamar. Dan keinginanmu untuk mengupayakan sarana-sarana penghidupan, padahal Allah telah melepaskanmu dari urusan duniawi, sama saja dengan mundur dari tekad luhur.
Maksudnya, keinginanmu untuk menjauhi semua sarana peng-hidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya. Padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga. Sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.
Dianggap “syahwat”, karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar”, karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu, supaya orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Dan untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.
Orang-orang ‘ârif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murîd yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murîd itu. Bahkan mungkin, murîd itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan dzikirnya, karena ia lebih suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia.