Di sisi lain, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras men-cari penghidupan duniawi, padahal Allah telah menyediakannya un-tukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada Sang Khaliq.
Sebenarnya, bergaul dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Karena itu, yang wajib bagi para sâlik (peniti jalan menuju Allah) ialah, tetap diam di tempat yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah untuknya, sampai Allah sendiri yang akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah, na’ûdzu billâh.
سَوَابِقُ الهِمَمِ – لا تَخْرِقُ أَسْوَارَ الأقْدَارِ
Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir.
Tekad adalah kekuatan jiwa yang bisa memengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah.
Hikmah di atas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Ibnu Atha’illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya, bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa kecuali dengan takdir dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah seperti halnya tekadmu, wahai murîd. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala di dalam hatimu, yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu tergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil.
اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ ، فَمَا قاَمَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ – لاَ تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah, tak perlu kau sibuk ikut campur.
Seseorang kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai dengan keinginan nafsunya. Lalu, untuk menggapai rencana yang telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.
Dengan menggunakan lafaz “istirahat”, Ibnu Atha’illah ingin menjelaskan kepada para murîd bahwa mereka dituntut untuk me-ninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan pen-deritaan. Kecuali, perencanaan atau pengaturan yang ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, “Perencanaan adalah setengah dari kehidupan”.
Urusan-urusan yang telah diatur Allah hendaknya dijauhi oleh seorang murîd. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yang telah di-tangani Allah. Karena tindakan semacam itu termasuk sikap “sok tahu” yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rubûbiyah (kepengaturan) dan takdir Allah, selain juga bisa melalaikan ibadah.
Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murîd. Karena biasanya, apabila seorang murîd sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan dzikir-dzikir dan ibadah-ibadahnya, maka seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murîd lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan dzikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah, banyak berdzikir dan riyâdhah (olah jiwa). Dengan dzikir dan riyâdhah, seorang murîd akan dijauhi setan dan terhindar dari ke-sibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih.
اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ ، وَتَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ – دَلِيْلٌ عَلَى اِنْطِمَاسِ البَصِيْرَةِ مِنْكَ
Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.
Maksud dari “apa yang telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah.
Allah Swt. berfirman, “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang mem-beri rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabût [29]: 60)
Sedangkan maksud dari “kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti dzikir, shalat, dan wirid. Allah Swt. berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-‘Ankabût [29]: 56)
Yang dituntut dari seorang murîd ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan dzikir-dzikir kepada Allah dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yang lainnya, karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.
Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.
Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha’illah menggunakan lafazh “ke-gigihan”, untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murîd, karena tidak menyebabkan buta mata hatinya.
Disadur dari buku Al-Hikam Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Syekh Abdullah Asy-Syarqawi Al-Khalwati. Turos