ArahBatin.com | Dikisahkan oleh Imam Muzanni, “Aku berkunjung ke rumah Imam Syafi’i ketika beliau dalam keadaan sakit. Sakitnya inilah yang kemudian mengantarkannya pada kematian. Aku bertanya padanya, ‘Wahai Abu Abdillah, semoga Allah merahmatimu. Berilah aku nasehat!’ Beliau lalu berkata padaku, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah, tempatkanlah akhirat di hatimu dan jadikanlah kematian sebagai tolok ukurmu! Serta jangan lupa bahwa tempat kembalimu ada di tangan Allah! Maka dari itu, takutlah kamu kepada-Nya dengan menjauhi larangan-larangannya dan menjalankan perintah-perintah-Nya. Untuk menjalankannya, kamu harus selalu berjalan di atas rel kebenaran. Dan yang perlu kamu ingat lagi, jangan sekali-kali meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu. Jika itu hanya sedikit, maka terimalah dengan bersyukur pada-Nya’.”
Beliau melanjutkan nasehatnya dengan mengatakan, “Jadikanlah diammu untuk berpikir, ucapanmu sebagai dzikir dan apa yang telah engkau lihat sebagai pembelajaran. Maafkanlah mereka yang telah berbuat dzalim kepadamu. Serta sambunglah tali silaturrahim kepada mereka yang telah memutus tali itu. Janganlah engkau enggan untuk berbuat baik kepada mereka yang berlaku jahat kepadamu. Serta bersabarlah atas malapetaka yang menimpamu. Dan, jangan lupa meminta perlindungan kepada Allah dari api neraka dengan menanamkan ketakwaan kepada-Nya.”
Melihat beliau seakan telah mengakhiri nasehatnya, aku berkata padanya, “Tambahlah lagi wahai Imam Syafi’i! Semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya kepadamu.”
Beliau akhirnya melanjutkan, “Jadikanlah lisanmu itu sebagai tempat keluarnya kebenaran. Menetapi janji sebagai peganganmu. Kasih sayang sebagai buah perbuatanmu. Rasa syukur sebagai sesucimu. Dan, kebenaran sebagai niagamu serta rasa cinta sebagai hiasanmu. Yang lebih penting lagi, al-Qur’an sebagai tolok ukur kepandaianmu, ketaatan sebagai jalan hidupmu dan keridhaan sebagai amanahmu. Kemudian pemahaman yang matang sebagai hujahmu, berharap kepada-Nya sebagai kesabaranmu serta rasa takut kepada-Nya juga sebagai penutupmu dan kejujuran sebagai tafsiranmu. Jangan lupa menjadikan zakat sebagai bentengmu, rasa malu sebagai pemimpinmu dan kelembutan sebagai menterimu. Ingatlah selalu bahwa tawakal adalah pelindungmu dan dunia ini adalah penjaramu. Serta jadikanlah kemiskinan sebagai temanmu, kebenaran sebagai panglimamu, Ibadah haji dan jihad sebagai tujuanmu, al-Qur’an sebagai juru bicaramu dan yang paling terpenting adalah Allah sebagai penghiburmu. Barangsiapa yang bisa menjalankan semua ini, maka surgalah tempatnya nanti.”
Rabi’ bin Sulaiman bercerita bahwa sebelum meninggal, Imam Syafi’i masih sempat melaksanakan shalat maghrib. Saat itu, keponakannya yang bernama Ya’kub bertanya padanya, “Apakah kita akan menunaikan shalat magrib berjamaah?”
Beliau menjawab, “Duduk dan tunggulah sebentar agar ruhku ini keluar dulu!” Tapi kami pun tetap menunaikan shalat maghrib berjamaah tanpanya. Setelah selesai, mereka sesegera mungkin kembali dan mendatangi beliau seraya berkata, “Kami telah shalat maghrib wahai Imam Syafi’i. Dan kami juga tak lupa mendoakanmu agar Allah memberikan kebaikan padamu.”
Beliau menjawab, “Ya, terima kasih.” Kemudian gremicik hujan pun turun. Di mana Mesir waktu itu masih berada di musim dingin. Tanpa menunggu perintah Imam Syafi’i, Ya’kub berkata pada salah seorang hamba sahayanya, “Campurkanlah air hangat itu ke dalam air hujan yang ada di baskom!” Namun Imam Syafi’i menyela, “Jangan! Tapi campurilah dengan buah safarjal itu.”
Kemudian setelah itu, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tepatnya menjelang waktu shalat Isya’ pada hari Kamis. Dan kami pun bergegas meninggalkan kediaman Imam Syafi’i pada malamnya. Saat itu, kami melihat cerahnya bulan sabit di bulan Sya’ban pada tahun 204 Hijriah. Beliau meninggal dalam usia 54 tahun sesuai penghitungan kalender Hijriah.
Disadur dari buku Detik-detik Kisah Para Sahabat Nabi dan Salafus Saleh Saat Menyambut Kematian. Majdi Fathi Sayid. Keira. 2014