كَيْفَ يُشْرِقُ قَلْبُ صُوَرِ اْلأَكْوَانِ مُنْطَبِعَة ً فِي مِرْآتِهِ؟
أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ ، وَهُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ؟
أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ ، وَهُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جِنَابَةِ غَفَلاَتِهِ ؟
أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ اْلأَسْرَارِ ، وَهُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ ؟
Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar sementara bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong ilahi sementara ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya sedang ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sementara ia belum bertaubat dari kekeliruannya?
Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar terang, sementara anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat dan bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu diandal-kannya! Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah? Orang yang dibelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah, sementara ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?
Di sini, kelalaian diumpamakan dengan kondisi junub. Seorang yang sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak akan diizinkan menemui Allah.
Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum ‘ârif semen-tara ia belum bertaubat dari kesalahan atau maksiat yang tidak sengaja dilakukannya?
Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha’illah mengungkapkan ke-janggalan yang dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin sese-orang bisa meraih sesuatu yang diinginkannya sementara ia masih melakukan hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.
Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaan, bukan dengan keinginan yang besar untuk selalu melakukan maksiat.
Allah Swt. berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)