Jika seorang murîd menunda-nunda amal yang bisa men-dekatkannya kepada Tuhan-nya karena merasa tidak memiliki waktu luang di sela-sela kesibukan dunianya, maka tindakan itu merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh, karena ia telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi, alih-alih mendapatkan waktu luang untuk beramal ibadah, justru ajal yang menjemputnya tiba-tiba. Atau bisa jadi juga, justru kesibukannya semakin bertambah. Sebab, kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk, karena satu sama lain saling berkaitan.
Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah. Karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal-amal yang mendekatkan dirinya kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan: “Waktu ibarat pedang, jika kau tidak bisa menggunakannya, niscaya ia akan menebasmu.”
لاَ تَطْلُبْ مِنْهُ أَنْ يُخْرِجَكَ مِنْ حَالَةٍ لِيَسْتَعْمِلَكَ فِيْمَا سِوَاهَا ، فَلَوْ أَرَادَكَ – لاَ سْتَعْمَلَكَ مِنْ غَيْرِ إِخْرَاجٍ
Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-Nya. Jika me-mang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi itu.
Jika kau mengira bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu. Sebab, jika Allah mencintaimu, dan kau termasuk ahli irâdah (yang dikehendaki Allah), maka Allah akan mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu untuk melakukan amal-amal saleh, dan menyi-bukkan hatimu dengan-Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu.
Jika seorang murîd berada dalam satu kondisi yang tidak sesuai dengan tujuannya (namun dari sudut pandang syariat, kondisi itu tidak terlarang), maka tak layak baginya untuk menghendaki keluar dari kondisi itu dan menentang “hukum waktu”—sebagaimana dijelaskan dalam hikmah di atas—serta meminta Tuhannya untuk segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan-Nya pada kondisi lain. Karena kondisi itu adalah pilihan Allah dan ia tidak perlu bingung dalam hal ini. Yang patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan kesopanannya terhadap Tuhannya, serta mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Sebab, jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini, maka Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Sehingga, ia pun beramal sesuai dengan kehendak Allah, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tentu, itu lebih baik baginya daripada mengedepankan pilihannya sendiri. Dan akan lebih baik lagi baginya, bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi tersebut.
Lain lagi halnya jika ia berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan syara’. Maka dalam hal ini, ia harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuhannya agar memindahkannya ke kondisi yang lebih diridhai-Nya.