Dalam perjalanannya menuju Allah, seorang murîd harus sibuk melakukan amal-amal saleh yang diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain, karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah.
Bila kau meminta kepada Allah agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat membantumu berjalan, atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Sebab, jika kau percaya bahwa Dia Maha Tahu kebutuhanmu dan Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.
Dan bila kau mencari-cari Allah agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, maka tindakan ini sama saja dengan melakukan ghibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang), karena Dzat Yang Maha Hadir tidak perlu lagi dicari-cari.
Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, ke-dudukan, kehormatan maupun yang lainnya, maka itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Sebab jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.
Dan bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan-persoalanmu, dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, maka itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Sebab jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk-makhluk-Nya.
Tetapi karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.
Bagi kalangan murîd, meminta kepada Sang Khaliq adalah hal yang lumrah. Bahkan, meminta kepada makhluk pun adalah hal yang wajar kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang ‘ârif hanya memandang kepada Allah. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada Sang Khaliq.