
Ibnu Atha’illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan: “Sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempurna”. Maksudnya, benih yang tidak ditanam dalam-dalam hanya akan tumbuh lemah, kering, dan tak bisa dimanfaatkan. Biasanya, hanya akan dimakan oleh burung atau binatang lain.
Demikian pula seorang sâlik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, maka jarang yang berhasil di akhir. Semakin ia merendahkan diri, maka maqâm ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila sejak awal, ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari makhluk, tidak mau dikenang dan tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersama Tuhannya, maka ia akan bersama Tuhannya. Jika Tuhan berkehendak, maka Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, maka Dia akan menutupinya dan membuatnya tidak dikenal.
Abu al-Abbas berkata, “Siapa yang ingin popularitas, maka ia adalah budak popularitas. Siapa yang mencintai para penguasa, maka ia akan menjadi budak penguasa. Dan siapa yang menyembah Allah, maka baginya sama saja, terkenal ataupun tidak.”
مَا نَفَعَ القَلْبَ شَيْءٌ مِثلُ عُزْلَةٍ ، يَدْخُلُ بِهَا مَيْدَانَ فِكْرَةٍ
Tiada yang lebih berguna bagi hati selain menyendiri dalam keheningan tafakur.
Menyendiri dan bertafakur merupakan cara terbaik bagi seorang murîd untuk membersihkan hati atau mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Tafakur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yang berpacu di sebuah arena pacuan.