
Cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati seorang murîd bisa menyibak berbagai makna dan hal ghaib, seperti baiknya ketaatan dan buruknya maksiat. Sedangkan mata hati bisa melihatnya. Dalam melihat makna dan hal ghaib ini, mata hati membutuhkan cahaya, seperti halnya mata biasa yang membutuhkan bantuan cahaya lentera atau matahari ketika akan melihat sesuatu. Dan cahaya yang dibutuhkan mata hati adalah cahaya batin.
Selanjutnya, apa yang dilihat oleh mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, maka hati akan menerima dan mencintainya. Lalu, diikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila mata hati melihat buruknya maksiat, maka hati akan menolak dan menjauhinya, yang kemudian diikuti oleh anggota tubuh yang lain.
Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa cahaya bisa menyingkap misteri ghaib, seperti rahasia takdir, atau memprediksikan apa yang akan terjadi di dunia. Lalu, mata hati berperan melihatnya dan hati memastikannya. Terkadang penyingkapan dan penglihatan tersebut tidak sempurna. Karena itu, seorang mukâsyif (yang mampu menyingkap misteri ghaib) harus memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu. Ia tidak boleh beramal hanya berdasarkan apa yang disingkapkan untuknya. Ia juga tidak boleh memprediksikan sesuatu sebelum bertanya kepada hatinya, apakah hatinya itu menerima atau menolaknya. Itulah sebabnya kenapa prediksi sebagian wali ada yang tidak terjadi. Ya, karena ia tidak memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu.
لاَ تُفْرِحْكَ الطَّاعَة ُ ؛ لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنْكَ ، وَافْرَحْ بِهَا ، لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنَ اللهِ إِلَيْكَ «قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ» (يونس ٥٨)
Janganlah senang lantaran kau bisa melakukan ketaatan, tapi senanglah lantaran ketaatan itu dikaruniakan Allah kepadamu. “Katakanlah: berkat karunia dan rahmat Allah-lah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yûnus [10]: 58).
Jangan merasa senang jika kau mampu melakukan sebuah ketaatan. Sikap seperti itu adalah sikap tercela, terlarang, dan dapat membatalkan ketaatan. Yang semestinya membuatmu senang bukanlah kemampuanmu melakukan ketaatan, tapi karena Allah telah menganugerahkan ketaatan itu kepadamu. Inilah sikap yang terpuji dan diharapkan dari seorang hamba. Inilah bentuk kesyukuran seorang hamba atas karunia tersebut. Kemudian Ibnu Atha’illah mendasari hikmah itu atas firman Allah: “Katakanlah: berkat karunia dan rahmat Allah-lah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yûnus [10]: 58).
Ketaatan yang bisa dilakukan seorang hamba merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya. Karena itu, ia patut berbahagia atas hal itu, bukan atas upayanya menjalankan ketaatan itu.