
قَطَعَ السَّائِرِيْنَ لَهُ وَاْلوَاصِلِيْنَ إِلَيْهِ عَنْ رُؤْيَةِ أَعْمَالِهِمْ وَشُهُوْدِ أَحْوَالِهِمْ . أَمَّا السَّائِرُوْنَ فَلأَِنَّهُمْ لَمْ يَتَحقَّقُوْا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيْهَا ، وَأَمَّا اْلوَاصِلُوْنَ – فَلأَِنَّهُمْ غَيَّبَهُمْ بِشُهُوْدِهِ عَنْهَا
Allah membuat orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya (sâ’irûn) dan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya (wâshilûn) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwâl) mereka. Karena para sa’irun belum benar-benar ikhlas dalam amal mereka, dan karena para wâshilûn terlalu sibuk melihat Tuhan mereka.
Allah menghalangi pandangan para sâ’irûn dan wâshilûn sehingga mereka tidak bisa melihat amal lahir dan ahwâl hati mereka. Sekalipun sama-sama dihalangi, tetapi penyebabnya berbeda. Pandangan para sâ’irûn dihalangi lantaran Allah melihat hati mereka kurang hadir di hadapan-Nya saat beramal. Sementara itu, pandangan para wâshilûn dihalangi lantaran mereka sibuk melihat Allah sehingga mereka tidak mampu melihat selain Dzat-Nya.
Allah telah memberikan karunia-Nya kepada dua kelompok itu. Dia membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap amal dan ahwâl mereka. Tetapi Allah memberikan karunia-Nya kepada para sâlik dengan terpaksa, sedangkan kepada para sâ’irûn dengan sukarela. Tentu saja kedudukan yang kedua lebih tinggi daripada yang pertama.
Oleh sebab itu, al-Washiti bertanya kepada para sahabat Abu Utsman tentang apa gerangan yang diperintahkan oleh Syekh mereka. Mereka menjawab, “Ia memerintahkan kami untuk senantiasa taat dan melihat kekurangan di dalam ketaatan itu.”
Kemudian al-Washiti berkata, “Jika demikian, berarti dia telah memerintahkan kalian dengan ajaran-ajaran kaum Majusi. Maukah kalian kuperintahkan untuk mengabaikan hal itu dan lebih melihat kepada sumber alirannya langsung?” Maksudnya, agar mereka me-ninggikan tekad mereka menuju maqâm orang-orang ‘ârif, bukan merendahkan apa yang mereka alami. Karena hal itu juga termasuk kebaikan.
Disadur dari buku Al-Hikam Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Syekh Abdullah Asy-Syarqawi Al-Khalwati. Turos