ArahBatin.com | Syekh Nawawi dilahirkan pada tahun 1230 H./1813 M. di Banten, Jawa Barat, dan dibesarkan di lingkungan keluarga Muslim. Nawawi selanjutnya dikenal sebagai sosok ulama. Dia meninggal pada tahun 1314 H./1897 M. di Mekkah. Makamnya terletak bersebelahan dengan makam Khadijah, Ummul Mukminin, istri Nabi, yang berada di Ma‘la. Setiap tahunnya pada hari Kamis pada minggu terakhir bulan Syawal, acara haul diselenggarakan di daerahnya, Tanara, Banten, Jawa Barat oleh sebagian besar masyarakat di sana.
Nama lengkap Syekh Nawawi adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Sebutan al-Jawi digunakan untuk menunjukkan bahwa Syekh Nawawi adalah berkebangsaan Jawa. Pada saat itu, Banten adalah daerah eks kerajaan Islam yang kemudian oleh kolonial Belanda dijadikan sebagai Karesidenan. Jawa lebih dikenal layaknya sebagai sebuah negeri, karena negara Indonesia pada saat itu belum terbentuk. Sedangkan al-Bantani merupakan nisbat yang digunakan untuk membedakan Syekh Nawawi dengan Muhyiddin Zakariyya Yahya bin Syaraf bin al-Marri al-Khazaimi atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi—seorang ulama besar dan produktif dari Nawa, Damaskus yang hidup sekitar abad 13 H. atau tepatnya tahun 1631 H./1233 M.
Di kalangan keluarganya, Syekh Nawawi dikenal dengan Abu Abdul Mu’thi. Ayahnya bernama Kiai Umar bin Arabi, seorang penghulu, ulama dan pemimpin masjid dan pendidikan Islam di Tanara, Banten, sedang ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara. Syekh Nawawi merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara, yakni Ahmad Syihab ad-Din, Tamim, Sa’id, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.
Apabila ditelisik dari silsilah keturunannya, Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Cirebon. Tepatnya keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Taj al-Arsy). Dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syekh Nawawi sampai kepada Nabi Muhammad Saw., sedang dari ibunya, sampai kepada Muhammad Singaraja.
Baca juga: Syekh Nawawi al-Bantani: Adab Bangun Tidur dan Berpakaian
Sebagai putra seorang tokoh agama di Tanara, Syekh Nawawi mendapat tempat hidup di lingkungan keluarga yang agamis. Oleh karena itu, sejak kecil ia sudah mendapatkan pelajaran keagamaan baik berupa ilmu pengetahuan maupun teladan perilaku dari keluarganya. Sejak masa kecil, Syekh Nawawi dikenal sebagai sosok yang rajin dan tekun belajar. Ia juga dikenal sebagai seorang yang tawadhu’, zuhud dan bertakwa kepada Allah, sehingga teman sejawatnya, yakni Abdul Sattar ad-Dahlawi menyebutnya sebagai “Muttaqin”. Terhadap orang yang lemah, ia sangat lembut. Akan tetapi, di samping kelembutannya tersebut, ia dikenal juga dengan keberanian dan ketegasannya.
Belajar di Pondok Pesantren
Ketika berusia 5 tahun, Syekh Nawawi bersama saudara-saudaranya mendapat pendidikan agama langsung dari Ayahnya. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya meliputi pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid dan tafsir.
Setelah 3 tahun belajar pengetahuan-pengetahuan dasar tersebut, Syekh Nawawi kemudian menimba ilmu ke beberapa pesantren di Jawa. Bersama kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, Nawawi muda berguru kepada Kiai Sahal, seorang ulama Banten yang terkenal pada saat itu. Setelah merasa cukup belajar pada Kiai Sahal, ia dan kedua adiknya merantau dan berguru lagi kepada Raden Haji Yusuf di Purwakarta. Satu hal yang cukup menarik bahwa pada saat sebelum Syekh Nawawi dan kedua saudaranya mendapat pelajaran dari Raden Haji Yusuf, mereka diharuskan mengikuti ujian terlebih dahulu, dan ternyata ketiganya lulus dengan baik, dan mereka pun lantas dipersilahkan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Akhirnya, Syekh Nawawi dan kedua adiknya pulang ke kampung halamannya dan mendapat sambutan penuh suka cita dari ibunya.