Kedua, ikhlasnya Muhibbin, yaitu orang-orang yang mencintai Allah, beramal karena Allah dengan tujuan untuk memuliakan Allah, tidak untuk meminta pahala kepada-Nya, tidak pula untuk berlindung dari siksa neraka. Yakni, menisbatkan amal perbuatan pada dirinya sebagaimana perkataan waliyullah, seorang perempuan yang bernama Rabi’ah Al-Adawiyah, “Hamba tidak menyembah-Mu karena takut akan siksa-Mu, juga bukan karena mengharap akan surga-Mu, akan tetapi hamba menyembah-Mu karena ingin memuliakan engkau (wahai Tuhan)”, hal ini yang dijelaskan oleh firman Allah: “Hanya kepada-Mulah kami menyembah (bukan selain-Mu).”
Dan ketiga, ikhlasnya ‘arifín, yaitu orang yang mengenal Tuhan-Nya, bahwa Allahlah yang menggerakkan dan mendiamkan dirinya, ia tidak mempunyai daya upaya dan kehendak. Dengan demikian, ia menyaksikan bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan dan kehendak, maka tidak ada amal yang dilakukan kecuali billah. Yakni, dengan kehendak dan kuasa Allah, bukan atas kehendak dan kuasa dirinya, sehingga ia tidak sekali-kali berharap pada amal perbuatannya. Maka, maqam ini lebih utama dari pada dua tingkatan ikhlas yang sudah disebutkan di atas, inilah yang dimaksud firman Allah: “Dan hanya kepada Engkaulah, hamba memohon pertolongan (bukan kepada yang lainnya).”
Dengan demikian, ikhlas itu hukumnya fardlu pada tiap-tiap amal, sebab amal tidak akan bermanfaat jika tidak disertai ikhlas. Maka, hendaklah engkau menempati salah satu tingkatan ikhlas yang ada tiga, jika engkau tidak menempati salah satu di antaranya (ikhlash) maka itu dinamakan riya’. Riya’ itu hukumnya haram di setiap amal, karena amal tidak akan sah, jika disertai dengan riya’.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ucapanmu “Aku sengaja shalat dzuhur” atau lainnya, itu bukan dinamakan niat, akan tetapi suara hati atau lisan saja. Sesungguhnya hakikat dari pada niat adalah kesadaran, kemantapan, serta kecondongan hati pada perkara dzahir yang menjadi inti sebuah tujuan. Baik tujuan itu merupakan tujuan duniawi ataupun tujuan ukhrawi. Tujuan yang paling rendah (nilainya) itu adalah mengingat neraka, merasa takut pada (siksa) neraka, dan menginginkan surga beserta kenikmatannya. Maka, ketika mengingat semua hal tersebut, menjadi sah-lah niat atau tujuannya. Tujuan yang paling mulia adalah menyengaja memuliakan Allah karena sudah menjadi hak orang yang mulia itu dilayani dan ditaati. Dan keikhlasan niat akan menjadi bersih jika tujuannya jauh dari tujuan selain Allah, dengan demikian, surga atau neraka itu jangan dijadikan sebagai tujuan. Jika seorang tidak ikhlas (dalam beramal) maka itu dinamakan musyrik. Jangan merasa ikhlas, jangan merasa bisa beramal, jangan merasa benar di dalam beramal, sehingga niat yang benar adalah lillah, billah, minallah dan ilallah (karena Allah, karena perintah Allah dan mengikuti Rasulullah, dari fadhal Allah, dan bertujuan karena ingin bertemu dengan Allah). Wallahu a’lam.
Disadur dari buku Syarah Al-Hikam Ibnu Atha’illah. KH. Sholeh Darat. Sahifa. 2022